Insentif Kemudahan Berusaha RUU Cipta Kerja Ancam Pembangunan Berkelanjutan
Utama

Insentif Kemudahan Berusaha RUU Cipta Kerja Ancam Pembangunan Berkelanjutan

Omnibus law Cipta Kerja hanya melanggengkan Natural Resource Curse Hypothesis di Indonesia.

Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Webinar Omnibus Law dalam Perspektif Good Legislation Making dan Implikasi RUU CIpta Kerja terhadap Pembangunan Kelautan Berkelanjutan. Foto: RES
Webinar Omnibus Law dalam Perspektif Good Legislation Making dan Implikasi RUU CIpta Kerja terhadap Pembangunan Kelautan Berkelanjutan. Foto: RES

Penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja terus berlanjut di tengah upaya para perumus merampungkan pembahasan terhadap RUU ini. Di sektor lingkungan, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Indonesia Ocean Juctice Initiative (IOJI) mengungkap bahwasanya RUU ini telah mencabut, merubah, dan menuangkan ketentuan baru yang melemahkan perlindungan terhadap daya dukung ekosistem.

“Naskah Akademis RUU Cipta Kerja tidak memberikan referensi dasar terhadap pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945,” sebagaimana dikutip hukumonline dari policy brief IOJI yang diberi judul “Sistem dan Praktik Omnibus Law di Berbagai Negara dan Analisis RUU Cipta Kerja dari Perspektif Good Legislation Making”.

Pasal 33 ayat (4) sendiri mengatur, perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

IOJI menilai prinsip-prinsip yang diatur dalam ketentuan Pasal 33 ayat (4) di atas sangat jelas mengamanatkan arah perekenomian Indonesia yang harus berorientasi pada pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan berkelanjutan sendiri memberikan pertimbangan yang setara terhadap pentingnya pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, dan perlindungan terhadap daya dukung ekosistem. (Baca Juga: Mempertanyakan Sense of Crisis Pemerintah Melanjutkan Pembahasan RUU Cipta Kerja)

Untuk itu, lewat policy brief-nya IOJI menyebutkan bahwa upaya untuk memudahkan dunia usaha lewat RUU Cipta Kerja tanpa mengimbangi dengan prinsip environmental safeguards hanya akan mendorong dan memperluas pembangunan infrastruktur sehingga berdampak besar terhadap degradasi ekosistem.

Direktur IOJI Sthepanie Juwana mengungkapkan, saat pihaknya melakukan analisis terhadap RUU Cipta Kerja dengan menggunakan standar good legislation making, ditemukan ketidak sesuaian antara draft RUU ini dengan sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Sthepanie menilai Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang mengarahkan orientasi perekonomian nasional harus berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, harus berjalan seiringan dengan good governance. Menurut Sthepanie, Indonesia harus mengikuti trend global yang mulai beralih pada investasi yang mengedepankan pembangunan berkelanjutan.

“Kami melihat terdapat pasal-pasal yang justru melemahkan orientasi pembangunan berkelanjutan,” ungkap Sthepanie.

United Nations Confrence on Trade and Development (UNCTAD) menjelaskan mengenai munculnya generasi kebijakan investasi baru yang menempatkan pembangunan berkelanjutan sebagai elemen yang dapat meningkatkan daya tarik investasi dan dijajikan sebagai dasar untuk mendapatkan keuntungan dari investasi. (Baca Juga: Menyoal Good Legislation Making dalam Penyusunan Omnibus Law Cipta Kerja)

Secara umum, investasi new generation memiliki karakter antara lain adanya upaya untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan melalui investasi yang bertanggung jawab (responsible investment), dengan menempatkan target-target sosial dan lingkungan hidup sejajar dengan target pertumbuhan ekonomi.

Menguatnya Kesadaran

Menguatnya kesadaran negara-negara akan pentingnya investasi yang memperhatikan pembangunan berkelanjutan juga diungkap oleh IOJI. Dalam policy brief nya IOJI menyebutkan contoh negara-negara dengan perekonomian besar yang mulai beralih pada konsep investasi new generation ini.

Amerika Serikat sebagai investor terbesar dunia, memiliki global sustainable assets sebesar $11.9 triliun, dimana 25%-nya merupakan sustainable investing. Survey dari Schroders menunjukkan bahwa lebih dari 60% penduduk Amerika sepakat bahwa investasi harus mempertimbangkan faktor keberlanjutan. Meningkatnya ketertarikan dunia terhadap ESG (environmental, social and governance) investing mendesak perusahaan-perusahaan untuk benar-benar memperhatikan faktor-faktor ESG investing.

Studi terbaru dari Bank of America menemukan bahwa perusahaan-perusahaan yang serius memperhatikan faktor ESG investing memiliki performa yang lebih baik secara finansial. Terlebih lagi pada tahun 2020, seiring terjadinya pandemi global, menurunnya pasar saham disertai dengan meningkatnya kesadaran akan kerusakan lingkungan, mendorong ESG investing untuk lebih diarusutamakan lagi.

Dilihat dari tujuannya, ESG investing merupakan salah satu penerjemahan dari konsep investasi new generation yang telah dijelaskan di atas. Investasi yang berorientasi pada pembangunan berkelanjutan juga mulai menjadi perhatian Uni Eropa. Pemulihan ekonomi yang cepat dari pandemi jelas merupakan masalah yang paling mendesak saat ini.

Banyak negara anggota Uni Eropa telah meluncurkan paket stimulus ekonomi yang ambisius, mereka baru saja menyetujui paket sebear 750 miliar euro ($882 miliar), yang memprioritaskan investasi hijau seperti energi terbarukan, circular economy, dan transportasi ramah lingkungan.

Jerman mislanya di bulan Juni telah meluncurkan paket stimulus sebesar 130 miliar euro yang mencakup efisiensi energi, transportasi ramah lingkungan, dan hidrogen. Prancis juga telah mengembangkan rencana green stimulus, yang berfokus pada industri penerbangan dan kegiatan UMKM yang lebih sustainable, kendaraan energi terbarukan, dan jalur sepeda.

Problem Pembangunan

Akademisi Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (FE UGM) Rimawan Pradiptyo mengungkapkan sejumlah problem pembangunan Indonesia yang sepertinya hendak di short cut melalui RUU Cipta Kerja. Menurut Rimawan, saat ini masih terjadi transformasi dari sektor informal ke formal. Problem lain adalah mengenai aspek kelembagaan yang lemah sehingga korupsi dan ekonomi biaya tinggi menjadi marak.

Problem kelembagaan ini digambarkan Rimawan dalam bentuk sistem birokrasi dan administrasi yang tidak mampu mengimbangi perkembangan teknologi, ekonomi, dan demorasi. Hal ini berdampak kepada aspek keberlanjutan pembangunan yang dipertanyakan. lebih jauh ia menilai seumber maslah dari tata kelola sumber daya alam di tanah air bermuara kepada korupsi.

Menyinggung hipetesis kutukan sumber daya alam, Rimawan menarik hubungan antara karakter negara yang kaya akan sumber daya alam seperti Indonesia kerap kali meletakkan fokus pertumbuhan ekonomi di sektor ekstraktif. Ciri aktifitas industrinya sederhana dengan mengekspor raw material tanpa upaya hilirisasi dalam negeri serta kebijakan impor barang modal serta konsumtif.

Situasi ini berjalan beriringan dengan kelembagaan yang lemah sehingga marak terjadinya korupsi. Faktor lain yang juga terjadi seperti industri manufaktur yang lemah dan ketergantungan terhadap sektor ekstraktif. Sejumlah hal tersebut berdampak pada ketertinggalan disemua aspek: terjadi defisit neraca perdagangan, inovasi yang lemah, terputusanya dari rantai pasok global, serta yang terakhir kerusakan lingkungan.

Menurut Rimawan, sejumlah negara seperti Australia, Malaysia, dan Chile yang notabene merupakan negara kaya akan sumber daya alam, serta mampu terhindar dari kutukan sumber daya alam karena sejak awal memprioritaskan perbaikan terhadap aspek kelembagaan dan pembangunan sumberdaya manusia. Sayangnya, kebijakan pemerintah melalui RUU Cipta kerja dinilai tidak merubah arah perkembangan kita, malah sebaliknya.

“Omnibus law Cipta Kerja hanya melanggengkan Natural Resource Curse Hypothesis di Indonesia,” tegas Rimawan.

Tags:

Berita Terkait