IOJI: Indonesia Terikat UNCLOS, TSS Harus Dipatuhi Demi Keamanan Laut
Utama

IOJI: Indonesia Terikat UNCLOS, TSS Harus Dipatuhi Demi Keamanan Laut

Pasal 53 ayat (11) UNCLOS ditegaskan bahwa kapal-kapal yang melakukan lintas alur laut kepulauan harus mematuhi alur laut (archipelagic sea lane) dan skema pemisah lalu lintas atau traffic separation scheme (TSS) yang berlaku yang ditetapkan oleh negara kepulauan.

Ferinda K Fachri
Bacaan 4 Menit

“Aktifitas kapal VFRS (Vietnam Fisheries Resources Surveillance) dan aktivitas kapal CCG itu melanggar kewajiban internasional dari pemerintah Tiongkok dan Vietnam yaitu due regard of obligation atau kewajiban menghormati hak daulat Indonesia yang ada di area tersebut yakni laut Natuna Utara. Berkenaan dengan Yuan Wang 5 ada 3 hal yang kita soroti. Perlambatan percepatan, berbelok ke kanan menjauh dari sumbu ALKI, dan ketiga berlayar di luar TSS yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia,” lanjutnya.

Hal tersebut dipandang sebagai pelanggaran Pasal 53 ayat (11), Pasal 53 ayat (6) UNCLOS, dan beberapa peraturan perundang-undangan terkait. Seperti UU No.6 Tahun 1996 tentang Perairan, Peraturan Pemerintah No.36 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing Dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia; serta Keputusan Menteri Perhubungan No.130 Tahun 2020 tentang Penetapan Sistem Rute di Selat Sunda.

Atas problematika itu, IOJI menyajikan sejumlah rekomendasi. Pertama, untuk perairan Natuna Utara yang memang merupakan permasalahan dengan sifat berlapis-lapis dengan dasar utamanya ialah masalah batas yang belum kunjung usai, diperlukan pendekatan yang sifatnya multi-instansi. Utamanya mengenai bagaimana menghadirkan kapal perang dan kapal patrol secara konsisten.

Terkait Yuan Wang 5, IOJI mengharapkan pemerintah Indonesia bisa mengirimkan nota diplomatik protes terhadap pemerintah Tiongkok. Setidaknya isinya menghormati TSS yang sudah Indonesia tetapkan. Mengingat Tiongkok juga telah meratifikasi UNCLOS dan merupakan negara anggota IMO. Terakhir, berkaca pada protesnya pemerintah India terhadap Sri Lanka, Indonesia perlu waspada mengenai peningkatan kapasitas deteksi agar bisa mengetahui kapal canggih yang melintas melakukan sesuatu hal lain yang illegal.

“Di Perpres No.34 Tahun 2022 tentang Rencana Aksi Kebijakan Kelautan Indonesia Tahun 2021-2025 itu sudah ada sebetulnya 9 aktivitas yang dicantumkan di sana untuk penguatan dalam kapasitas penegakan hukum. Sayangnya 9 aktivitas itu belum menyentuh peningkatan kemampuan deteksi terhadap perlintasan kapal riset canggih. Pertanyaannya sederhana, bagaimana kita tahu kalau kapal riset yang canggih melintas ini tidak melakukan hal-hal lain?”

Dalam kesempatan yang sama, Panglima Komando Armada I Laksamana Muda TNI Arsyad Abdullah menuturkan dari panglima TNI belum menggelar operasi khusus di Natuna Utara, melainkan yang ada operasi Siaga Tempur Laut di seluruh wilayah kerja Koarmada I yang dikonsentrasikan ke Natuna Utara. Mengingat perairan tersebut merupakan area cukup rawan.

“Unsur-unsur saya, saya tarik semua ke sana. Unsur yang kita gelar di sana KRI ada 4, kemudian ada pesut. Setiap hari kita menggerakkan unsur untuk berpatroli ada 2 unsur, bahkan kadang ada 3. Tidak kita kerahkan semua karena harus bergantian agar tidak terjadi kekosongan di laut. Di tahun 2022 ini hasil tangkapan dari Koarmada I, ada 6 kapal Vietnam yang berhasil kita tangkap dan diproses di Lanal (Pangkalan TNI Angkatan Laut) Ranai,” ungkap Laksda TNI Arsyad Abdullah.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait