Staatsnoodrecht dalam Pandangan Tiga Tokoh Hukum
Berita

Staatsnoodrecht dalam Pandangan Tiga Tokoh Hukum

Jika negara dalam keadaan darurat, maka hukum yang berlaku adalah hukum darurat.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

(Baca juga: 3 Aturan Ini Jadi Rujukan Utama dalam Hukum Tata Negara Darurat).

Kapan keadaan darurat berakhir? Pernyataan keadaan bahaya dan penghapusan keadaan bahaya harus diumumkan ke masyarakat. Misalnya Keppres No. 225 Tahun 1957 tanggal 17 Desember 1957 tentang pernyataan seluruh wilayah RI dalam keadaan bahaya menurut UUKB 1957. Keadaan bahaya berakhir dalam artian formil maupun materiil sebab adakalanya dipandang oleh penguasa  ada bahaya secara sungguh-sungguh, tetapi dapat dihadapi oleh alat kekuasaan biasa. Maka keadaan demikian tidak dinyatakan dalam bahaya.  Sebaliknya masih ada bahaya secara nyata, tetapi menurut pertimbangan pemerintah keadaan itu dipandang sudah tidak berbahaya lagi, maka hal itu dihapuskan saja. Jadi, soal bahaya atau tidak berbahaya, dari sudut ini tidak semata-mata soal yuridis, tetapi sangat besar soal politik.

Dalam UU No. 23 Tahun 1959 dinyatakan ada tiga tingkatan bahaya atau darurat. Karena itu, ada beberapa kemungkinan dalam penghapusan bahaya, yakni: penghapusan keadaan perang, jika seluruh atau sebagian saja wilayah Indonesia dinyatakan dalam keadaan perang; penghapusan darurat militer, jika ada wilayah yang dinyatakan darurat militer; dan penghapusan darurat sipil jika di daerah tertentu dinyatakan bahaya darurat sipil.

Ia menegaskan bahwa tidak mungkin pernyataan penghapusan darurat militer, padahal di daerah itu hanya berstatus darurat sipil. Lalu, apakah menghapus keadaan bahaya itu semata-mata hak prerogatif presiden? Prof. Herman berpendapat tidak. Akibat penghapusan keadaan bahaya: negara kembali ke keadaan normal, yakni kepada keadaan semula seperti sebelum ditetapkannya keadaan bahaya.

Berkaitan dengan akibat keadaan bahaya yang kemudian berakhir, berlaku suatu prinsip hukum: het verkregen rechten, erkend is (the vested right is recognized). Artinya, apa yang sudah diperoleh dalam peraturan lama tetap diakui dalam situasi baru oleh hukum baru.

Jimly Asshiddiqie

Ketua Mahkamah Konstitusi (Agustus 2003-Maret 2009) ini menulis buku ‘Hukum Tata Negara Darurat’ dan diterbitkan pada 2007. Dalam sebuah diskusi di Depok 15 April lalu, Jimly menawarkan kepada Badan Nasional Penanggulangan Bencana untuk menerbitkan kembali buku tersebut karena isinya masih relevan. Indonesia, kata dia, adalah daerah rawan bencana.

Pengertian keadaan darurat di berbagai negara berbeda-beda, termasuk dalam hal kriteria suatu keadaan dikualifikasi sebagai keadaan darurat. Dalam UUD 1945 ada dua istilah yang relevan digunakan yakni keadaan bahaya dan hal ihwal kegentingan yang memaksa. Kedua istilah ini merujuk pada kondisi yang sama, yaitu keadaan yang dikecualikan dari keadaan yang bersifat normal.

Menurut Jimly, seberat apapun persoalan darurat yang terjadi, sudah seharusnya dapat diatasi dengan instrumen hukum ada untuk menjamin berjalannya fungsi-fungsi kekuasaan yang melindungi kepentingan seluruh rakyat.  Jika tidak ada jalan lain yang mungkin, barulah diterapkan keadaan darurat. Hukum yang berlaku di negara darurat itu, kata Jimly, adalah hukum yang bersifat darurat (martial law, etat de siege).  

Di Indonesia, keadaan darurat dibedakan menurut tingkatan bahayanya, yakni darurat sipil, darurat militer, dan darurat perang. UU No. 23 Tahun 1959 menggunakan tiga kriteria untuk menentukan suatu keadaan darurat. Pertama, keamanan dan ketertiban hukum di seluruh atau sebagian wilayah Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan atau bencana alam sehingga tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa. Kedua, timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Indonesia dengan cara apapun. Ketiga, hidup negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau doikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup negara.

Jimly berpendapat sistem norma hukum yang digunakan di negara dalam keadaan normal dan negara dalam keadan tidak normal harus berbeda. Dalam keadaan bahaya atau darurat, norma hukum normal tidak dapat diterapkan sebagai instrument untuk mengatasi keadaan. Diperlukan norma hukum tersendiri yang dapat mengatasi keadaan darurat. Termasuk dalam hal peran alat-alat kelengkapan negara.

Dalam seminar tentang hukum tata negara darurat, 15 April lalu, dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Qurrota Ayuni, mengutip pandangan Jimly yang menyebutkan bahwa parlemen punya peran untuk membatasi keadaan darurat melalui berbagai keterlibatan. Pertama, bentuk pengawasan yang ketat dalam menentukan adanya suatu keadaan darurat. Kedua, membentuk kekuasaan untuk mengatasi keadaan darurat itu. Ketiga, memantau pelaksanaan kewenangan pemerintahan eksekutif yang mengatasi keadaan tidak normal itu. Keempat, menyelidiki berbagai penyimpangan atau penyalahgunaan kekuasaan dalam pelaksanaan kewenangan eksekutif dalam keadaan darurat itu. Kelima, jika diperlukan parlemen dapat menyatakan berakhirnya masa keadaan darurat atau meminta presiden untuk mengakhirinya.

Tags:

Berita Terkait