Isu Hukum Perdata dalam Transaksi Pembiayaan Internasional
Terbaru

Isu Hukum Perdata dalam Transaksi Pembiayaan Internasional

Seperti pilihan hukum atau choice of law dan pilihan forum atau choice of forum. Indonesia dikenal sebagai negara yang tidak ramah terhadap putusan arbitrase internasional.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Narasumber dalam diskusi bertajuk 'Sosialisasi Rancangan Hukum Perdata Internasional: Perkembangan dan Dampaknya bagi Hukum Indonesia' di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Rabu (26/10/2022). Foto: RFQ
Narasumber dalam diskusi bertajuk 'Sosialisasi Rancangan Hukum Perdata Internasional: Perkembangan dan Dampaknya bagi Hukum Indonesia' di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Rabu (26/10/2022). Foto: RFQ

Perkembangan hukum keperdataan internasional perlu diimbangi dengan regulasi yang mengakomodir dinamika di masyarakat. Termasuk kemajuan teknologi harus direspon dengan hukum keperdataan lintas negara. Untuk itu, hukum keperdataan internasional perlu direspon dengan menuangkannya dalam bentuk peraturan di level Undang-Undang (UU). Sebab, banyak persoalan keperdataan internasional yang penyelesaiaan seringkali tak tuntas. Seperti halnya soal transaksi pembiayaan internasional.

Managing Partner Ginting & Reksodiputro Daniel Ginting berpandangan hukum perdata internasional tak dapat dipisahkan dari kenyataan ekonomi terkait investasi ke Indonesia. Tapi di Eropa, terjadi perang Ukraina-Rusia berujung resesi. Alhasil orang asing bakal berdatangan ke negara-negara Asia, Indonesia satu diantaranya sebagai destinasi.

“Karena itu, kita harus persiapkan hukum perdata internasional yang mengakomodir poin-poin tadi, investasi ke Indonesia,” ujar Daniel Ginting dalam sebuah diskusi bertajuk “Sosialisasi Rancangan Hukum Perdata Internasional: Perkembangan dan Dampaknya bagi Hukum Indonesia” di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Rabu (26/10/2022).

Baca Juga:

Dia melihat terdapat sejumlah isu hukum perdata internasional dalam transaksi pembiayaan internasional. Pertama, pilihan hukum atau choice of law. Dalam praktiknya, pilihan hukum asing telah lazim digunakan dalam perjanjian kredit pembiayaan. Mulai transaksi kredit sindikasi atau transaksi kredit bilateral yang melibatkan pihak asing di Indonesia.

Perdebatan selama ini menyoal apakah perlu sufficient connection/nexus atas hubungan hukum yang bersangkutan atau prinsip freedom of contract dapat diaplikasikan dalam memilih hukum yang berlaku sepanjang tidak melanggar kaidah super memaksa. Ada pula pilihan hukum yang acapkali digunakan. Seperti pilihan hukum Inggris, pilihan hukum Singapura, pilihan hukum Hong Kong atau pilihan hukum New York (Global Bonds offering).

Menurutnya, pilihan hukum tersebut mengacu pada tempat pusat bisnis/keuangan dunia dan di Asia. Bahkan, kesamaan sistem hukum yang menganut commmon law menjadi keunggulan tersendiri. “Karena konsep-konsep hukum dapat lebih mudah teradopsi, misalnya mengenai trustee atau unjust enrichment,” ujarnya.

Namun begitu, beberapa perjanjian atau kontrak dalam transaksi bisnis internasional tetap menggunakan hukum Indonesia berdasarkan kaidah super memaksa berdasarkan peraturan perundang-undangan. Seperti dalam kontrak kerja sama/profit sharing contract minyak dan gas bumi. Kemudian perjanjian konstruksi atau dokumen jaminan akta pemberian hak tanggungan, akta jaminan fidusia atau perjanjian gadai.

Kedua, pilihan forum/choice of forum. Menurutnya, pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia dalam beberapa kasus, pihak berperkara yang kalah melakukan strategi dengan mengajukan gugatan baru. Alasannya agar menunda eksekusi putusan arbitrase asing. Menariknya, dalam beberapa kasus, berhasil dilakukan.

Nah, pengakuan terhadap putusan hakim asing, secara khusus yang berkenaan dengan kepailitan, setidaknya penundaan kewajiban pembayaran utang kebanyakanya struktur transaksi bonds diterbitkan oleh special purpose vehicle (SPV) di luar negeri. Tapi, dijamin oleh aset-aset dan ditanggung holding company yang ada di Indonesia.

“Kasus Pan Brothers Tbk. yang mana scheme of arrangement yang dilakukan di Singapura menjadi dasar untuk menolak permohonan PKPU yang diajukan oleh Maybank oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat,” katanya.

Tidak ramah putusan arbitrase 

Di tempat yang sama, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Liliek Prisbawono menyoroti putusan arbitrase melalui pengadilan yang dipimpinnya. Menurutnya, UU memberikan kewenangan khusus dan kelebihan terhadap PN Jakpus dalam mengadili perkara perdata yang terdapat unsur asingnya, sengketa perusahaan asing dengan perusahaan asing, sengketa perusahaan lokal (badan hukum Indonesia) dengan perusahaan asing, serta perceraian antara warga negara Indonesia (WNI) dengan warga negara asing (WNA).

PN Jakpus pun memiliki kewenangan mengeksekusi putusan arbitrase internasional, khususnya terhadap pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional sebagaimana mandat UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase  dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Tapi praktiknya, penyelesaian perkara melalui arbitrase tidak secara otomatis dilaksanakan secara sukarela oleh pihak yang kalah.

Sementara dalam melaksanakan eksekusi putusan arbitrase internasional harus meminta bantuan dari pengadilan. Masalahnya ada sejumlah alasan yang dipergunakan pihak yang kalah agar tidak menjalankan putusan arbitrase internasional. “Kita dinilai negara yang tidak ramah terhadap putusan-putusan arbitrase internasional. Pengakuan terhadap putusan arbitrase internasional kita kurang (ditaati, red)” katanya.

Tags:

Berita Terkait