​​​​​​​Jalan Panjang Menembus Batas Usia Menuju Pelaminan
Hukum Perkawinan Kontemporer

​​​​​​​Jalan Panjang Menembus Batas Usia Menuju Pelaminan

Permohonan dispensasi perkawinan umumnya diterima hakim. Perubahan batas minimal usia perkawinan dinyatakan sebagai open legal policy. Kini, terbuka peluang.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

 

Salah satu yang menarik adalah pandangan Pemerintah. Dalam keterangan di persidangan 8 Mei 2014, Pemerintah mengingatkan Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunannya melalui perkawinan yang sah. Pasal 16 Kompilasi Hukum Islam telah menegaskan pula perkawinan didasarkan pada persetujuan calon mempelai.

 

Mengenai usia minimal dalam UU Perkawinan, Pemerintah menegaskan bahwa ketentuan itu justru dimaksudkan untuk mencegah pernikahan lebih dini yang sebelum tahun 1974 sering terjadi. Sebelum UU Perkawinan diberlakukan, banyak pelaku perkawinan masih berusia 13 tahun. Sebaliknya, perempuan yang belum menikah di usia 20 tahun sering diberi label perawan tua. Batasan usia dalam UU Perkawinan, menurut Pemerintah, adalah jalan tengah yang ditempuh sebagai kesepakatan nasional. “Merupakan kebijakan pembentuk undang-undang atau open legal policy dari pembentuk undang-undang yang melihat secara bijaksana pada saat itu, yaitu tahun 1974”.

 

Pemerintah juga menyadari ada kemungkinan gagasan mengubah UU Perkawinan setelah sekian lama dijalankan. Jika keinginan itu ada, maka sebaiknya diserahkan sebagai kebijakan terbuka Pemerintah saja (open legal policy). “Kalau memang ke depan ada perubahan undang-undang, mungkin saja hal tersebut yang disampaikan oleh Pemohon sebagai masukan kepada Pemerintah”. Termasuk jika ingin mengharmonisasikan perbedaan batas usia dewasa dalam sejumlah perundang-undangan, jalurnya adalah legislative review, bukan judicial review.

 

Pandangan Dewan Perwakilan Rakyat idem dengan keterangan Pemerintah. DPR menganggap batasan usia dalam UU Perkawinan justru untuk memberikan kepastian hukum. Sebaliknya, Pihak Terkait seperti Women Research Institute, Kalyanamitra, dan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) punya pandangan senada dengan Pemohon, yakni ada resiko yang timbul jika perkawinan usia dini dibenarkan. Dampaknya sangat banyak, tak hanya medis tetapi juga pada perampasan hak atas pendidikan dan pembatasan kebebasan beraktivitas.

 

Seperti diberitakan, akhir proses persidangan itu tak seperti yang diharapkan para Pemohon. Dalam putusan No. 30-74/PUU-XII/2014, Mahkamah Konstitusi berpendapat jika pembatasan usia minimal yang konstitusional sama artinya Mahkamah membatasi adanya upaya perubahan kebijakan oleh negara untuk menentukan yang terbaik untuk warganya. Mahkamah menolak permohonan meskipun tidak dengan suara bulat. Meskipun menolak, Mahkamah tidak menafikan kemungkinan perubahan kebijakan negara.

 

“Tidak tertutup kemungkinan bahwa pada saatnya nanti, dengan mendasarkan pada perkembangan teknologi, kesehatan, sosial, budaya, dan ekonomi, serta aspek lainnya, usia 18 tahun bukan lagi sebagai batas usia minimum yang ideal bagi wanita untuk menikah, bahkan bisa saja dianggap yang lebih rendah atau lebih tinggi dari 18 tahun tersebut sebagai usia yang ideal”. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi ini sebenarnya membuka ruang bagi perubahan kebijakan negara di masa mendatang.

 

Dan, ketika muncul kasus-kasus perkawinan dini, Pemerintah mulai menyuarakan perubahan batas usia perkawinan. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Yohanna Yembisa, sudah secara terbuka meminta DPR mengubah UU Perkawinan, termasuk batas usia minimal perkawinan. “Praktik pernikahan usia anak atau di bawah usia syarat menikah masih menjadi persoalan. Karenanya perlu didorong usia pernikahan diubah,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait