Jalan Sukses Advokat Berintegritas Tanpa Suap
Road to Top 100 Indonesian Law Firms 2022

Jalan Sukses Advokat Berintegritas Tanpa Suap

Penting untuk mengupayakan transaksi yang berjalan tidak melawan hukum dan mencoba untuk lebih berinovasi dalam menuntaskan suatu perkara yang ditangani.

Oleh:
Ferinda K Fachri
Bacaan 3 Menit

Chandra menggarisbawahi bahwa keputusan kantor hukumnya untuk bersikap tunduk di hadapan segala hukum yang ada, berbeda dengan terminologi “risk taker”. Menurutnya, risk taker hanya berlaku dalam dunia bisnis, seperti masalah untung atau rugi, dan lain-lain yang dapat diambil keputusannya oleh menajemen perusahaan. Namun jika berkenaan dengan hukum, sudah terang benderang harus diikuti.

Baca Juga:

Dengan posisi/sikap yang seperti itu, selama ini AHP berkeyakinan tetap memiliki market sendiri. Hal ini bagi pasar yang menganut integritas sebagai nomor satu yang dijunjung dan menyadari pentingnya mengikuti aturan. Dengan berbekal keyakinan tersebut, AHP mencoba untuk terus eksis di lingkungan kantor-kantor hukum lainnya.

“Walaupun awal-awalnya berat. Banyak orang bilang, ‘gak mungkin lah AHP dapat bertahan kalau tanpa nyuap’, ‘ga mungkin lah bertahan kalau gak pake kickback’. Itu membuat kita berpikir, katakanlah untuk litigasi, kita harus melakukan upaya-upaya yang lebih dari yang lain untuk ‘memenangkan’ suatu perkara.”

Berinovasi menuntaskan perkara

Upaya yang dimaksudkan Chandra dengan berinovasi menuntaskan suatu perkara yang ditangani. Sebagai contoh, hakim Indonesia atau orang pada umumnya lebih cepat dapat menerima informasi melalui visual atau mendengar ketimbang membaca. Misalnya, Tim AHP mendatangkan ahli yang dapat melakukan peraga di ruang sidang daripada hanya sebatas berbicara.

Dari membuat visualisasi, presentasi, bahkan pada industri tertentu dibuatkan mockup bagaimana barang-barang dan cara kerjanya. Selanjutnya akan didatangkan ahli yang memiliki pemahaman untuk dapat “beratraksi” di hadapan hakim agar menjelaskan sesuatu yang ruwet melalui alat peraga.

Selain itu, adanya asumsi bahwa membaca dokumen besar dapat membuat seorang menjadi cepat lelah dan letih, maka bisanya dibuatkan summary (ringkasan) di halaman depan sebanyak satu-dua lembar. Terkadang juga sampai dipastikan kembali preferensi hakim dalam membaca dokumen lebih menyukai font seperti apa, serta ukuran tulisan pada dokumennya untuk memudahkan membaca.

“Karena kita memutuskan untuk tidak melakukan hal yang buruk, kita mencoba kreatif melalui hal-hal yang bisa dibenarkan,” ujar mantan Pimpinan KPK ini.

“Sebenarnya yang pertama dilakukan bukan hanya law firm saja, tapi semua orang. Jangan melakukan perbuatan yang aneh-aneh (seperti menyuap). Karena kalau menyuap gak perlu sekolah. Ngapain sekolah 4 tahun cuma untuk bisa menyuap? Kita bergaul saja dengan teman-teman, bina hubungan, suap, selesai. Gak perlu mikir, gak perlu sekolah. Pada saat Anda melakukan itu, Anda mengingkari anugerah otak yang diberikan. Gak perlu jadi Sarjana Hukum kalau buat menyuap,” tutupnya.

Tags:

Berita Terkait