Jangan “Ormaskan” Sektor Masyarakat Sipil Indonesia
Kolom

Jangan “Ormaskan” Sektor Masyarakat Sipil Indonesia

​​​​​​​Kalau tak segera diluruskan, istilah Ormas akan jadi istilah payung yang membuat seluruh organisasi di sektor masyarakat sipil jadi Ormas.

Bacaan 8 Menit

Sebagian OMS agaknya bingung dengan kerangka hukum yang memang rancu. Sebagian lagi memilih menundukkan diri pada UU Ormas, semata karena pertimbangan pragmatis. Kenyataannya, mengurus Surat Keterangan Terdaftar (SKT) untuk jadi Ormas memang jauh lebih mudah ketimbang pengurusan status Badan Hukum Yayasan atau Perkumpulan. Dalam pertimbangan pragmatis, yang penting organisasi bisa beroperasi dengan dukungan status legal, apapun bentuk statusnya.

Perlu Mendorong Tafsir Baru

Belajar dari sejarah LSM era 80-an yang berhasil mendorong tafsir tandingan, OMS saat ini juga perlu mendorong adanya tafsir baru tentang definisi Ormas. OMS perlu mulai membangun ruang tafsirnya sendiri yang membuat OMS jadi bisa mendefinisikan dirinya sendiri, apakah organisasinya merupakan sebuah Ormas atau bukan.

Pemerintah juga belum seragam dalam penggunaan istilah. Kadang Ormas, LSM, Organisasi Non-Pemerintah, kadang juga Lembaga Nirlaba. Berbeda dengan Orba, pemerintah hari ini nampak tidak satu suara dalam upaya “meng-ormas-kan” seluruh sektor masyarakat sipil. Lihat saja RPJMN 2020-2024 (Perpres No.18/2020) yang menggunakan istilah OMS, bukan Ormas, dalam arah kebijakan dan strategi konsolidasi demokrasi. Kementerian Hukum dan HAM juga sepertinya menyadari kerancuan yang ditimbulkan UU Ormas. Dalam Naskah Akademik RUU Perkumpulan (2016), Badan Pembinaan Hukum Nasional sepakat dengan argumen Penulis bahwa UU Ormas menambah ketidakpastian hukum (karena menempatkan Ormas seolah sebagai payung dari seluruh organisasi sosial), dan merekomendasikan agar pengaturan Perkumpulan seharusnya terpisah dari UU Ormas.

Masih ada peluang bagi OMS untuk mendesakkan tafsir alternatif untuk mengurangi kerancuan definisi Ormas. Ada perbedaan konsep dan praktik tentang definisi Ormas yang multi-tafsir. OMS perlu mendorong tafsir baru di tataran praktik, bahwa tidak semua OMS otomatis wajib jadi Ormas. Secara persisten OMS harus terus mendesakkan penggunaan istilah OMS, dan segera menyatakan keberatan tiap hendak dipukul rata sebagai Ormas.

Pastinya perlu ada perubahan undang-undang untuk meluruskan kerancuan ini. Pengaturan OMS sebaiknya dikembalikan kepada kerangka hukum yang benar yaitu: 1) UU Yayasan untuk OMS yang tidak berbasis anggota, 2) UU Perkumpulan untuk OMS yang berbasis anggota. Adapun terkait bidang kegiatan masing-masing (misal: kesehatan, pendidikan, penelitian, keagamaan dll), OMS bisa berkoordinasi dengan Kementerian/Lembaga yang sesuai bidangnya. Dengan begini, tidak ada Kementerian/Lembaga yang bertindak seakan jadi “Big Brother Institution” ala Orwell yang memayungi semua jenis OMS lintas bidang kegiatan.

Perebutan tafsir ini bukan sekadar urusan teknokratik revisi bunyi pasal belaka. Perlu disadari bahwa fenomena “shrinking civic space” sedang terjadi juga pada sektor masyarakat sipil di Indonesia. Dalam ruang yang menyempit, publik perlu bersiap dan menentang bermunculannya upaya menyempitkan ruang gerak organisasi, mempersulit perizinan, mendiskreditkan, menutup akses pendanaan, mengkriminalisasi, ataupun tindakan sewenang-wenang lainnya terhadap OMS. Sektor masyarakat sipil ini perlu dijaga bersama, untuk memastikan tersedianya ruang bebas dalam membuat perubahan.

*)Eryanto Nugroho, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Dosen STH Indonesia Jentera.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait