Jejak Leksikografi Guru Besar Rechtshogeschool di Aceh
Berita

Jejak Leksikografi Guru Besar Rechtshogeschool di Aceh

Pribumi pertama yang menjadi Guru Besar di Rechtshogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) Batavia, Hoesein Djajadiningrat, ternyata punya karya tentang Aceh.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

 

(Baca juga: Profesor Indonesia dalam Pembukaan Rechtshogeschool)

 

Meskipun keahliannya lebih banyak pada bahasa, Hoesein menaruh perhatian pada hukum, Pada mulanya ia bahkan ingin sekolah hukum karena ingin menjadi hakim. Hoesein menaruh minat pada hukum Islam. Ini bisa terlihat antara lain dari pidato ilmiahnya di Rechtshogeschool tahun 1925: ‘De Mohammedaansche wet en het geestesleven der Indonesische Mohammedanen”. Snouck Hurgronje berperan besar membawanya kuliah di Leiden hingga memperoleh gelar doktor (1905-1913). Sebelum masuk Leiden, atas bantuan Snouck pula, Hoesein belajar bahasa Latin dan Yunani Kuno. Di Leiden, ia mengambil jurusan bahasa dan sastra Nusantara.

 

Dalam persiapan kemerdekaan Indonesia, Hoesein termasuk anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Bahkan ia memimpin sebuah kelompok yang menyusun draf UUD 1945 di BPUPKI. Anggotanya terdiri dari Prof. R Soepomo, Mr. R Soewandi, Mr R.P Singgih, Mr. R Sastromoeljono, M. Soetardjo Kartohadikoesoemo, dan Mr. R. Soebardjo.

 

Hukumonline.com

Ilustrasi foto Hoesein Djajadiningrat. Ilustrator: HGW

 

Bermula dari sayembara

Hoesein Djajadiningrat sebenarnya mewarisi darah Serang, Banten, dari ayah dan ibunya -- R. Bagus Djajawinata dan Ratu Salehah. Ayahnya adalah wedana yang kemudian diangkat jadi Bupati Serang. Jabatan itu kemudian diteruskan kepada abangnya, Pangeran Ahmad Djajadiningrat.

 

Meskipun berdarah Serang Banten, Hoesein Djajadiningrat bukan hanya dihubungkan dengan Sunda dan Jawa, tetapi juga kadangkala dikaitkan dengan Aceh. Suatu saat, ketika masih di Belanda, Universitas Leiden mengadakan sayembara mengarang tentang sejarah kesultanan Aceh berdasarkan naskah Indonesia/Melayu. Hoesein bukan hanya ikut, tetapi juga berhasil memenangkan sayembara lewat karyanya yang berjudul ‘Critisch Overzicht van de Maleische Werken gevatte gegeven over de Geschiedenis van het Soeltanaat van Atjeh’. Tulisan yang menghebohkan ini kemudian dimuat dalam majalah Bijdragen tot de taal, Land-en Volkenkunde jilid 65 Tahun 1911, halaman 135-265.

 

Selama studi doktoral di Universitas Leiden, Hoesein di bawah bimbingan promotor Snouck Hurgronje, seorang akademisi Belanda yang juga menaruh perhatian pada Aceh. Ia juga banyak dibantu Raden Mas Panji Sosrokartono, kakak RA Kartini. Hasil studi doktoralnya, Critische Beschouwing van de Sedjarah Banten  memberikan sumbangsih penting atas penulisan sejarah Banten khususnya, dan penulisan sejarah Jawa pada umumnya. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten, Sumbangan Bagi Pengenalan Sifat-Sifat Penulisan Sejarah Jawa (Penerbit Djambatan, Jakarta, 1983).

 

Mahcfud Mangkudilaga menggambarkan keberhasilan Hoesein di Leiden itu dalam kata pengantarnya untuk buku ‘Masa Awal Kerajaan Cirebon’ karta R.A Kern dan Hoesein Djajadiningrat (1974). Mangkudilaga menulis: “Beliau adalah putera Indonesia yang pertama yang pada tahun 1913 mendapat gelar doktor dalam ilmu sastra dan filsafat dengan cumlaude dengan tesis mengenai sejarah Banten dengan promotornya tidak kurang dari Prof. Snouck Hurgronje. Perisitiwa itu merupakan peristiwa yang sangat bersejarah karena membuktikan kepada dunia ilmiah yang penuh syakwasangka pada waktu itu bahwa orang Indonesia pun dapat mengikuti pendidikan akademi modern asal ia diberi kesempatan”.

 

Setelah kembali ke Tanah Air, Hosein bekerja di Djawatan Bahasa, menjadi pegawai yang bertugas mengadakan penelitian bahasa-bahasa Nusantara. Dalam konteks ini pula nama Hoesein dihubungkan dengan Aceh. Ia mendapat tugas mempelajari bahasa Aceh dalam rangka pembuatan kamus bahasa Aceh, sehingga ia harus menetap di Tanah Rencong.  Berdasarkan buku biografi ‘Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat, Karya dan Pengabdiannya’ yang ditulis Sutopo Susanto (1984), terungkap bahwa Hoesein menetap di Aceh dan berbaur dengan masyarakat setempat antara April 1914 hingga Mei 1915. Penelusuran hukumonline ke Banda Aceh pada Sabtu-Minggu (20-21/01) belum menemukan informasi dimana persisnya Hoesein menetap selama pembuatan kamus tersebut.

Tags:

Berita Terkait