Joint Venture Tak Harus Libatkan Penanaman Modal Asing
Utama

Joint Venture Tak Harus Libatkan Penanaman Modal Asing

Salah kaprah dalam memahami konsep Joint Venture masih sering terjadi. Tak sedikit yang berpandangan bahwa unsur modal asing harus terlibat dalam transaksi JV.

Oleh:
Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit

(Baca juga: Kepalitan SPV dalam Transaksi KIK-EBA).

Untuk risiko yang mungkin bakal dihadapi pemodal dalam JV, mayoritas didominasi oleh perselisihan atau lost of trust (kehilangan kepercayaan) yang muncul di antara para pemegang saham di kemudian hari. Pandangan ini disampaikan Fitri berdasarkan pengalamannya menangani sejumlah perusahaan. Bila hal itu terjadi, katanya, di situlah mekanisme exit-clause yang telah ditetapkan dalam JV bisa diterapkan. “Jadi potensi risikonya karena hubungan antar pemegang saham tidak baik. Yang satu merasa yang bekerja tidak begitu baik atau tidak menyumbang lebih banyak untuk perusahaannya,” katanya.

Untuk meminimalisasi risiko, kata Fitri, JVA setidaknya harus memuat pasal-pasal penting yang berkaitan dengan prosedur pendirian perusahaan, cara agar salah satu pemegang saham dapat keluar dari perusahaan (exit), prosedur pengalihan saham; cara menyelesaikan perselisihan di antara pemegang saham, cara mengoperasikan perusahaan sehari-hari dan hak-hak dari masing-masing pemegang saham, dan kewajiban setiap pemegang saham.

Perbedaan JV, MKA dan KSO

Jika struktur JV lebih berkaitan erat dengan permodalan, merger dan konsolidasi yang struktur utamanya adalah penggabungan entitas usaha, tidak berfokus pada permodalan. Melalui JV, dua atau lebih entitas dapat menanamkan modal dalam sebuah perusahaan baru, atau salah satu dapat menjual sebagian saham anak perusahaannya kepada perusahaan lain yang tidak terafiliasi.

Lebih lanjut, Dewi Safitri yang akrab disapa Fitri itu menerangkan, munculnya hubungan antara MKA dengan JV terkait erat dengan perjanjian para pemegang saham atau Shareholders Agreement. “Dalam merger misalnya, ketika pemegang saham dari dua entitas itu bergabung, kemudian ada yang terdilusi. Jadi nanti butuh SA yang kurang lebih isinya sama dengan JV. Begitu juga halnya dengan akuisisi, karena akan ada pemegang saham baru maka juga dibutuhkan SA,” jelasnya.

(Baca juga: Perjanjian Joint Venture Berujung Sengketa, Bagaimana Mekanisme Penyelesaiannya?).

Namun untuk konsolidasi, menurut Fitri, sangat sulit penerapannya dan bahkan kemungkinan belum pernah dilakukan di Indonesia. Sebab, konsolidasi mempersyaratkan terbentuknya entitas baru. Artinya, dibutuhkan proses likuidasi terhadap perusahaan-perusahaan yang sudah ada (existing) terlebih dahulu, baru kemudian entitas baru bisa terbentuk. Di Indonesia, proses likuidasi cukup sulit dan memakan waktu relatif lama.

Bagaimana dengan KSO atau joint operation? Apakah yang membedakannya dengan JV? Fitri menjelaskan, akibat hukum dari KSO adalah tidak membentuk legal entity, KSO hanya sebatas kerjasama operasi atau biasa dikenal dengan konsorsium. “KSO tidak membentuk PT atau legal entity baru. Sedangkan kalau JV pasti ada legal entity, either dari akuisisi atau membentuk anak usaha baru,” terangnya.

Dari segi perjanjian yang dibentuk, tambahnya, dalam JV diperlukan adanya JV Agreement (JVA) atau Shareholders Agreement yang berkaitan dengan pembentukan entitas oleh pemodal (para pemegang saham). Sedangkan untuk KSO, maka entitas hukum yang ada (bukan pemegang saham) membentuk perjanjian kerjasama operasi. Fitri mencontohkan, BUMN untuk melakukan proyek-proyek strategis seperti pembangunan infrastruktur kerap melakukan kerjasama operasi antar entitas.

Menariknya, Aldilla menerangkan bahwa KSO bisa saja menjadi batu loncatan untuk melakukan JV dan ini banyak dilakukan. Biasanya, kata Aldilla, para entitas tidak ingin membentuk entitas terlebih dahulu, untuk itu langkah awal yang ditempuh adalah kerjasama operasional (KSO). Jika KSO itu telah memenangkan tender, misalnya, maka konsorsium yang telah dilakukan itu bisa diubah menjadi badan usaha.

Tags:

Berita Terkait