Jutaan Pelaku UMKM Diimbau Waspada Kejahatan Siber
Terbaru

Jutaan Pelaku UMKM Diimbau Waspada Kejahatan Siber

Ungkapan lama yang menyatakan bahwa lebih baik mencegah daripada mengobati adalah relevan dalam konteks keamanan siber.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Pandemi Covid-19 mengubah pola interaksi masyarakat termasuk cara operasi bisnis pelaku usaha. Data Kementerian Koperasi dan UKM RI (2020) menunjukkan bahwa selama tahun 2020, terdapat sekitar 10,2 juta UMKM yang menggunakan teknologi digital dalam kegiatan usahanya. Angka ini meningkat kurang lebih 13 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Meskipun di satu sisi pemanfaatan teknologi digital memungkinkan pelaku UMKM tetap terhubung dengan konsumen dan dapat menjangkau konsumen baru serta meningkatkan pendapatan, adaptasi digital juga memiliki risiko, diantaranya risiko siber seperti penipuan online, peretasan, pemalsuan identitas, dan bocornya data konsumen.

Kejahatan siber mengakibatkan kerugian material maupun nonmaterial bagi pelaku usaha UMKM. Jumlah kejahatan siber yang terjadi diseluruh dunia sejak tahun 2020 terus meningkat. Sehingga, perhatian atas keamanan siber tidak hanya penting bagi perusahaan-perusahaan besar berskala nasional dan global, namun juga penting bagi UMKM.

Pasalnya, mayoritas serangan siber yang terjadi ditujukan pada usaha kecil, dan kesalahan manusia merupakan salah faktor terbesar yang mempengaruhi keamanan siber sebuah perusahaan. Kurangnya pemahaman akan keamanan siber juga dianggap sebagai penyebab utama mengapa masih banyak pelaku usaha, termasuk UMKM, sangat rentan terhadap kejahatan di jagat maya. (Baca: Mendorong Kebangkitan UMKM di Masa Pandemi Covid-19)

Edukasi mengenai keamanan siber sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran dan budaya keamanan siber menjadi salah satu upaya penting yang dapat dilakukan oleh berbagai pihak seperti perusahaan, asosiasi, dan pemerintah secara sinergis dalam rangka mencegah kerugian yang lebih besar lagi. Parahnya lagi, mayoritas perusahaan dinilai tidak memiliki rencana mitigasi terhadap serangan siber.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH), Marshall Pribadi, mengatakan pelaku UMKM perlu memetakan berbagai tantangan dan gangguan yang dihadapi terkait keamanan siber. Kemudian, pelaku UMKM perlu memahami lebih mendalam mengenai apa yang dapat dilakukan, baik itu secara mandiri maupun berkolaborasi, untuk memperkuat keamanan siber perusahaan agar tidak menjadi korban kejahatan siber.

“Ungkapan lama yang menyatakan bahwa lebih baik mencegah daripada mengobati adalah relevan dalam konteks keamanan siber. Ketika tidak terjadi gangguan siber, para pelaku usaha seharusnya tidak boleh lengah dan menganggap bahwa standar keamanannya sudah cukup. Para pelaku usaha tetap harus mencermati potensi serangan siber dan melakukan langkah-langkah yang tepat agar usahanya dapat berjalan dengan aman, khususnya saat bertransaksi secara online,” jelas Marshall dalam acara "Keamanan Siber (Cybersecurity) dan Digitalisasi Usaha Mikro, Kecil & Menengah (UMKM) di Indonesia", Rabu (30/6).

Sementara itu, Country Manager Indonesia Mastercard, Navin Jain mengatakan di tengah pengadopsian perangkat digital yang dilakukan oleh para UMKM agar dapat tetap kompetitif di era normal baru, UMKM juga harus memprioritaskan keamanan siber UMKM. Navin menjelaskan pihaknya berkomitmen untuk membangun dunia digital inklusif yang dapat dioperasikan secara praktis, aman, dan nyaman.

“Tidak ada bisnis yang terlalu kecil untuk menjadi sasaran target kejahatan siber. Kami berupaya untuk senantiasa mendukung para UMKM dengan keterampilan keamanan siber yang mereka butuhkan guna mendorong pemahaman seputar teknologi dan manfaat yang dapat dinikmati dari keamanan siber, meningkatkan kapasitas mereka, dan menawarkan berbagai solusi keamanan,” jelas Navin.

Dari segi regulasi, Direktur Proteksi Ekonomi Digital Badan Siber dan Sandi Negara, Retno Artinah, menyatakan bahwa masalah keamanan informasi bagi pelaku UMKM dianggap permasalahan yang baru, hal ini tidak hanya di Indonesia, namun juga di terjadi di beberapa negara.

“Salah satu tantangan digitalisasi UMKM di Indonesia adalah rendahnya tingkat literasi digital. Rendahnya literasi menjadi faktor penting yang menyebabkan rentannya UMKM terhadap serangan siber. Kami menyambut baik kegiatan literasi tentang keamanan informasi secara rutin dilakukan oleh industri fintech. Diharapkan, para pelaku usaha UMKM ke depannya dapat lebih siap dalam menerapkan prinsip-prinsip keamanan informasi,” kata Retno.

Retno memaparkan data yang menunjukan bahwa di masa pandemi, ancaman keamanan siber kian meningkat dua kali lipat. Sebelumnya, tren ancaman ini berada di angka 200 juta. Hingga akhir tahun 2020, tren ini naik hingga lebih dari 495 ancaman kemanan siber. UMKM merupakan salah satu sektor yang juga diserang.

Menurut Verizon 2019 Data Breach Investigations Report, 43 persen dari serangan siber menarget UMKM, dan hanya 14 persen UMKM yang sudah mempersiapkan diri menghadapi ancaman tersebut.

"Pandemi dengan segala kondisi yang ada, yang sudah bertransformasi, kita harus melek dengan transformasi tersebut. Kita harus siap dengan pengetahuan dan infrastruktur yang dimiliki," kata Retno.

"Kami juga concern di UMKM karena visi kami di BSSN juga ingin menumbuhkan ekonomi nasional. UMKM adalah sektor yang mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Namun memang, mau tidak mau, UMKM juga mendapatkan dampaknya soal keamanan siber," ujarnya melanjutkan.  

Tags:

Berita Terkait