Kala Definisi ‘Produk Halal’ Kembali Dipersoalkan
Berita

Kala Definisi ‘Produk Halal’ Kembali Dipersoalkan

Pemohon meminta kejelasan/tafsir bahwa produk halal itu untuk umat agama yang mana? Pemohon juga meminta MK menyatakan bahwa pasal-pasal yang diujikan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan UUD Tahun 1945.

Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit

 

Mengutip materi permohonan, Pemohon menguji diktum pertimbangan huruf b, Pasal 1 angka 1, Pasal 3 huruf a, Pasal 4, Pasal 26 ayat (2), Pasal 65, dan Pasal 67 UU JPH. Pasal-pasal a quo pernah diujikan Pemohon dalam permohonan Perkara Nomor 5/PUU-XVI/2017 yang telah diputus MK dan dinyatakan tidak diterima.  

 

Bagi Pemohon, bagian Menimbang huruf b diantara kata “agama” dan “untuk” seharusnya diselipkan kata “Islam”. Demikian juga dengan kata “masyarakat” harusnya “umat Islam”. Pemohon beralasan tujuan UU JPH untuk menjamin setiap pemeluk agama ”Islam” untuk beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, negara berkewajiban memberikan pelindungan dan jaminan tentang kehalalan produk yang dikonsumsi dan digunakan “umat Islam”.

 

Selengkapnya, bunyi bagian Menimbang huruf b yaitu bahwa untuk menjamin setiap pemeluk agama untuk beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, negara berkewajiban memberikan pelindungan dan jaminan tentang kehalalan produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat.” Padahal, dalam Pasal 1 angka 2 UU JPH disebutkan, “Produk Halal adalah Produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam.

 

Akan tetapi, Pemohon menilai UU JPH menyamaratakan semua agama sebagai yang mengenal konsep haram (atau halal). Dan setiap orang perlu jaminan halal, seperti termuat dalam tujuan UU JPH yang justru bertentangan dengan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Karena itu, Pemohon berpendapat Pasal 4 UU JPH menimbulkan ketidakpastian mengenai apa yang sebenarnya yang menjadi target dari UU a quo, yang produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.

 

Menurut Pemohon, kewajiban mencantumkan keterangan tidak halal pada kemasan produk atau pada produk itu sendiri sangat merugikan Pemohon. Seharusnya ada penegasan tidak halal itu untuk siapa. Sebab, tidak halal menurut syariat Islam tidak berarti tidak halal menurut agama/kelompok lain. Jika dalam kemasan atau bagian produk hanya disebutkan “tidak halal”.

 

Untuk itu, dalam petitum permohonannya, Pemohon meminta MK menyatakan bahwa pasal-pasal yang diujikan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan UUD Tahun 1945.

Tags:

Berita Terkait