Kala Dubes RI Abdul Kadir Jailani Angkat Bicara tentang Hukum Internasional
Utama

Kala Dubes RI Abdul Kadir Jailani Angkat Bicara tentang Hukum Internasional

Di balik setiap norma hukum internasional pasti ada politik. Pengajaran hukum internasional harus mempersiapkan untuk menghadapi realitas sosial, bukan sekadar normatif.

Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi Dubes Abdulkadir Jaliani. Foto: BAS
Ilustrasi Dubes Abdulkadir Jaliani. Foto: BAS

“Saya dulu nakal dan tidak pintar. Saya SMA selama 5 tahun, nggak naik dua kali. Tapi satu hal yang menyelamatkan saya, sejak kecil suka baca buku,” kata Abdul Kadir Jailani dalam sesi wawancara dengan hukumonline beberapa waktu silam sebelum keberangkatannya kembali bertugas ke luar negeri. Ia mengaku beberapa kali membolos sekolah dan relatif buruk dalam pelajaran matematika. “Untungnya kenakalan saya tidak destruktif sampai terlibat kejahatan dan obat terlarang,” ia menyambung pengakuannya diselingi tawa.

 

Pengakuan ini mungkin terdengar buruk bagi sebagian orang. Namun kenyataannya bahwa Abdul Kadir Jailani adalah seorang diplomat andal yang baru saja dilantik sebagai Duta Besar (Dubes) Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Kanada dan ICAO (International Civil Aviation Organization). Kadir—demikian ia biasa disapa—menjadi sosok autentik bahwa kenakalan masa muda bisa bertransformasi menjadi kesuksesan.

 

(Baca juga: Belum Ratifikasi Konvensi Apostille 1961, Legalisir Dokumen Bisnis Internasional Masih Berlapis)

 

“Kalau sejarah dan pengetahuan umum saya bagus. Sisi lain pendidikan kita saat itu tidak mampu mengakomodasi minat orang,” kata Kadir merujuk pandangan saat itu yang menyanjung kecerdasan dalam ilmu pengetahuan alam serta berbagai profesi terkait cabang ilmu tersebut. Menjadi dokter dan insinyur disebutnya sebagai gambaran sukses pendidikan kala itu.

 

“Bapak saya ngomong begini ‘sudahlah kamu jangan bandel, sekolah yang bener, paling tidak jadi sarjana hukum atau apalah’,” Kadir menuturkan sambil kembali tertawa. Ucapan ayahnya terdengar merendahkan sarjana hukum sebagai target terbaik yang mungkin bisa dicapai oleh anak nakal.

 

Kadir mengaku tertarik dengan ilmu hukum sejak SMP karena keinginan sendiri. Meski tak ada keluarga Kadir berprofesi bidang hukum atau diplomat, takdir akhirnya membawa Kadir diterima di Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Cita-cita Kadir menjadi sarjana hukum ini sempat ditertawakan oleh guru di sekolahnya. “Saat saya diterima UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri-red.), karena takjubnya, sampai diumumkan di upacara bendera,” ujarnya.

 

Sepanjang menjadi mahasiswa, Kadir aktif di badan perwakilan mahasiswa dan terlibat di Ikatan Senat Mahasiswa Hukum Indonesia. Ia juga rajin mengikuti berbagai kegiatan kemahasiswaan lainnya. Ia pernah bergabung di Asian Law Student Association unit Fakultas Hukum Universitas Airlangga pada tahun 1989-1990. Di kampus, Kadir memilih peminatan perdata internasional. Masa studi sarjana dilakoninya sepanjang tahun 1986-1992.

 

Meskipun kini berkarier diplomat, ia mengaku kemampuan bahasa Inggris baru diasah setahun sebelum lulus. “Saya bahkan belum tahu arti kata believe setahun sebelum lulus,” ia berseloroh. Lagi-lagi perkataan ayahnya yang mendorong Kadir untuk serius membekali diri dengan kemampuan bahasa asing sebelum lulus. “Bapak saya bilang ‘kalau kamu bisa bahasa Inggris, jadi supir pun bayaran kamu lebih tinggi’, langsung saya ikuti banyak kursus,” katanya lagi.

 

Perbincangan santai di sebuah kafe bersamanya berawal dari informasi yang hukumonline terima bahwa Kadir masih berada di Jakarta. Ia dijadwalkan kembali ke New York, Amerika Serikat tepat keesokan hari setelah wawancara. Untungnya ia bersedia meluangkan waktu berbagi cerita bersama hukumonline. Ditemani minuman coklat panas dan biskuit, hukumonline akhirnya mendapatkan kesempatan berharga.

 

Sosok diplomat yang gemar membaca berbagai buku filsafat ini terasa humoris dan penuh wawasan. Salah satu buku populer berjudul ‘Sapiens’ karya Yuval Harari, bahkan menjadi bahan acuan data beberapa bagian perbincangan sore itu. Kadir menilai setiap sarjana hukum saat ini perlu membaca buku itu sebagai langkah awal menghadapi tantangan masa depan.

 

Kadir yang juga hobi renang dan fotografi ini menghabiskan sebagian besar kariernya di bidang politik dan keamanan. Sejak memulai karier di Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri tahun 1993, Kadir telah bolak-balik ditugaskan ke luar negeri. Perundingan kawasan bebas nuklir di ASEAN dan sengketa Sipadan-Ligitan adalah beberapa tugas yang pernah ditangani Kadir.

 

Kesempatan menempuh pendidikan lanjutan selalu diupayakannya di sela bertugas. Selama awal kerja saat masih berkantor di Pejambon, ia menyelesaikan magister hukum ekonomi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Saat berdinas di Belanda, ia menyelesaikan join program di Belanda dan Inggris untuk Master of European Law and Policy, University of Portshmouth. Saat kembali ke Indonesia, ia sempat menempuh studi doktoral di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Sayangnya ia harus bertugas ke Jenewa, Swiss sehingga tidak sempat menyelesaikan studi.

 

Kini, setelah menuntaskan tugas sebagai Konsul Jenderal di New York ia mendapat tugas lebih besar sebagai Duta Besar. Resmi dilantik di Istana Negara tanggal 7 Januari 2019 oleh Presiden Republik Indonesia. Kadir mulai efektif menjabat bulan April 2019.

 

Dalam wawancara dengan hukumonline Kadir lebih banyak menyoroti pengajaran hukum internasional di kampus dan isu yang perlu mendapatkan respon dalam menyiapkan sumber daya ahli hukum internasional andal. Saat mengomentari apa itu sarjana hukum, Kadir berujar singkat, “Lawyer itu tukang jahit.” Berikut petikan wawancaranya:

 

Bagaimana seharusnya pengajaran hukum internasional dikembangkan di kampus?

Menurut pandangan saya, walaupun keadaan sekarang sudah jauh lebih bagus dibandingkan saat saya kuliah. Pengajaran hukum internasional di kampus perlu lebih merespon kebutuhan praktik di bidang hukum internasional. Saya melihat masih banyak peluang yang bisa dilakukan. Contohnya di beberapa universitas, mata kuliah yang diajarkan terlalu fokus pada hukum diplomatik atau hukum organisasi internasional. Bukan berarti itu tidak penting, tetapi ketika di lapangan praktik, siapa saja yang akan menggunakan hukum itu? Siapa yang akan memerlukan hukum diplomatik itu nanti?

 

Pengalaman saya sebagai diplomat, jika Anda tidak dilibatkan menangani kasus yang memerlukan diplomasi, Anda tidak akan pernah menggunakan itu. Maksud saya, perlu untuk menyediakan mata kuliah yang lebih banyak diperlukan orang. Hukum diplomatik itu hanya akan digunakan sekelompok kecil orang. Kalau sekadar untuk mengetahui, masih ada isu lain yang lebih perlu diajarkan tentang hukum internasional.

 

Hukumonline.com

 

Apa saja isu lain tersebut?

Saat ini semua bidang hukum nasional selalu memiliki aspek hukum internasional di dalamnya.  Baik itu aspek perdata internasional maupun internasional publik. Saya rasa sebaran mata kuliah bidang hukum internasional perlu dilihat kembali. Misalnya saja mata kuliah hukum ekonomi internasional itu lebih menarik untuk diperdalam.

 

Hal apa lagi yang menjadi kebutuhan berdasarkan perkembangan praktik?

Kalau menurut saya, setiap kampus idealnya memiliki karakter masing-masing. Tidak harus sama dalam pengajaran hukum internasional. Ada yang fokus pada hukum laut, lainnya soal hukum investasi, semacam itu akan lebih baik.  Ini bahkan tidak hanya dalam hal hukum internasional, tapi juga pada bidang hukum lainnya. Maksud saya ada kampus yang fokus pada hukum perburuhan, atau hukum pidana, hak asasi manusia, macam-macam lah. Kampus kan bisa membuat berbagai pusat studi sendiri. Menurut saya beberapa kampus juga sudah melakukannya.

 

Hukum internasional ini sangat luas. Tidak mungkin kampus bisa memenuhi semua kebutuhan dalam praktik. Jadi, yang bisa dilakukan adalah memilah kebutuhan mendasar dengan pilihan pengembangannya. Prioritaskan pada pilihan yang memang menjadi kebutuhan pasar.

 

Saya ambil contoh hukum ekonomi internasional yang tadi disebutkan, lalu hak asasi manusia atau juga hukum lingkungan. Sarjana hukum dengan peminatan hukum internasional kan tidak harus menjadi diplomat, bisa juga menjadi pegiat di international NGO dan semacamnya. Perlu dilihat apa yang menjadi kepentingan nasional kita. Nah, hukum lingkungan itu wacana yang penting sebagai bahasan hukum internasional.

 

Ada satu lagi yang paling penting di masa mendatang. Bagaimana kita mengantisipasi digital life, artificial intelligence, digital law, yang semakin berkembang? Itu semua membuat isu kedaulatan dan otoritas menjadi samar. Contohnya masalah bitcoin. Itu bernilai tanpa otoritas lho ya. Apakah hukum masih diperlukan? Blockchain? Lalu berbagai inovasi produk layanan keuangan. Bagi saya, ini persoalan yang nyata. Di masa mendatang, isunya bukan lagi nasional atau internasional lagi. Kehadiran negara pun jadi dipertanyakan. Muncul berbagai sistem tanpa otoritas. Nah, bagaimana kampus bisa merespon perkembangan ini.

 

Apa saran anda untuk merespon perkembangan saat ini?

Ada buku judulnya Development of International Law From Below. Secara teoritis, sumber-sumber hukum internasional berkaitan dengan otoritas negara. Sekarang ini justru peran negara semakin berkurang dalam membentuk hukum internasional secara praktik. Ada pendapat kalau di era artificial intelligence akan banyak profesi yang punah termasuk lawyer. Salah satu pertanyaan penting adalah bagaimana kita mendidik generasi mendatang?

 

Sekarang ini kita masih dalam pola membekali sumber daya manusia untuk bisa dipakai dalam sepuluh atau lima puluh tahun mendatang. Nanti, perkembangan teknologi jauh lebih pendek. Bukan tidak mungkin nantinya inovasi teknologi akan terjadi tiap hari. Berarti ada new technology, new era, yang hukum pun harus cocok dengan itu semua. Bagaimana kita mengantisipasi itu semua?

 

Pengguna media sosial seperti facebook, instagram, itu kan sebuah masyarakat sendiri. Hukum apa yang berlaku? Isu ini belum menjadi sasaran di Indonesia. Mau tidak mau hukum harus mengikuti laju teknologi. Teknologi menyebabkan batas-batas negara nasional terhadap internasional menjadi tidak relevan.

 

Ketika saya (menempuh) magister di UI, saya makin menyadari pentingnya legal theory dan legal philosophy. Itu sangat esensial. Keduanya tidak memberikan ikan, tetapi alat pancing. Nilai praksisnya hanya satu: anda tahu bagaimana caranya berargumentasi. Membentuk bagaimana cara kita berpikir. Berikutnya kalau ada pengetahuan teknis, kita tinggal baca saja. Aspek ini yang lebih penting.

 

Saya umpamakan olahraga, ada banyak macam olahraga tetapi hampir semuanya anda harus bisa lari. Sepak bola, basket, tenis, softball atau hockey itu sangat berbeda. Tapi anda perlu bisa lari. Itu dasar semua olahraga. Kampus bisa melihat dengan cara itu, ibarat menyiapkan orang untuk bisa berlari. Fisik yang siap berlari.

 

Kita selalu dihadapkan dengan dilema menjadi generalis atau spesialis. Sarjana hukum harus jadi yang mana? Kalau saya, ini bukan dua pilihan dengan kata ‘atau’ melainkan dengan ‘dan’. Dalam kehidupan nyata, spesialisasi itu mutlak. Saya sudah menganjurkan itu tadi. Namun Anda juga harus bisa menyeluruh. Kalau Anda pelatih basket, lebih penting kemampuan berlari atau keterampilan teknik bermain? Nah, keduanya penting.

 

Bagi saya sendiri yang paling penting adalah banyak membaca. Menjadi sarjana hukum bukan soal ilmu membunyikan pasal. Ini tentang penalaran. Kalau tidak mengerti penalaran, nggak ada gunanya. Saya sangat menyayangkan ada forum diskusi sarjana hukum yang isinya hanya berdebat soal bunyi pasal. Saya melihat ini persoalan kita untuk mendidik sarjana hukum yang mampu bernalar secara kritis. Selebihnya bisa belajar sendiri.

 

Saya banyak terlibat dengan perdebatan hukum di forum internasional. Di sana tidak terobsesi beradu argumen dengan mengandalkan bunyi pasal dalam norma hukum. Tentu mereka tetap mengacu norma hukum, tapi menggunakan penalaran kritis. Hukum itu bukan soal pasal-pasal, tetapi soal kehidupan sosial. Saya orang yang menolak tajam cara berpikir positivisme hukum.

 

(Baca juga: MLA, Tumpuan Penegakan Hukum Pidana Lintas Negara)

 

Dalam kehidupan nyata, terutama sebagai diplomat, Anda harus memahami lebih dari norma hukum. Saya harus memahami kepentingan politik kita dan negara lain dalam setiap perundingan. Seperti lawyer lainnya, saya juga punya klien yaitu negara. Tugas saya adalah mempertahankan kepentingan negara. Dalam hukum intenasional, semua perdebatannya adalah isu politik. Namun semua itu diperdebatkan dengan argumentasi hukum. Semua debat di Perserikatan Bangsa-Bangsa memiliki argumentasi hukum, tetapi substansinya pasti isu politik. Di balik setiap norma hukum internasional pasti ada politik.

 

Saya sendiri memahami berbagai hal tidak selalu karena pengalaman. Oleh karena itu, terus melakukan pengembangan diri juga perlu dilakukan. Mungkin ada pengalaman tertentu yang tidak pernah dimiliki, tapi dengan melakukan pengembangan diri akan sangat berguna.

Tags:

Berita Terkait