Kala Praperadilan Tersangka OTT Selalu Ditolak Pengadilan
Utama

Kala Praperadilan Tersangka OTT Selalu Ditolak Pengadilan

Beragam alasan hakim menolak permohonan praperadilan.

CR-24
Bacaan 2 Menit
Penyidik KPK memperlihatkan barang bukti hasil OTT Bupati Nganjuk, disaksikan Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan. Foto: RES
Penyidik KPK memperlihatkan barang bukti hasil OTT Bupati Nganjuk, disaksikan Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan. Foto: RES

Praperadilan adalah upaya hukum yang lazim ditempuh tersangka kasus korupsi atau tindak pidana lainnya. Ada yang mempersoalkan penahanan, ada pula yang menggugat penetapan tersangka. Beberapa tersangka kasus korupsi berhasil mematahkan dalil KPK, dan menang lewat praperadilan. Umumnya, para tersangka di PN Jakarta Selatan.

 

Sejumlah tersangka kasus korupsi, yang tertangkap lewat operasi tangkap tangan (OTT), juga menempuh upaya serupa. Terbaru, diajukan Eddy Rumpoko. Walikota Batu, Malang, ini menempuh praperadilan ke PN Jakarta Selatan pada 24 Oktober lalu. Ketua PN Jakarta Selatan sudah menunjuk hakim Iim Nurohim sebagai hakim tunggal yang akan menyidangkan permohonan Eddy Rumpoko. “Sidangnya tanggal 6 November,” kata Made Sutrisna, Pejabat Humas PN Jakarta Selatan kepada hukumonline.

 

Eddy bukan saja mempersoalkan penetapan status tersangka, tetapi juga penangkapan, penahanan, dan penyitaan. Tindakan paksa penyidik KPK itu dinilai dilakukan tanpa berdasarkan hukum. Berdasarkan informasi yang diperoleh Hukumonline, Eddy memberikan kuasa kepada pengacara dari kantor hukum Ihza & Ihza Law Firm.

 

Eddy Rumpoko terjaring OTT pada 16 September 2017. Ia diduga menerima uang sekitar Rp600 juta berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa pemerintah proyek belanja modal dan mesin pengadaan meubelair dengan nilai proyek mencapai Rp5,26 miliar. KPK juga menangkap Kepala Bagian ULP Pemkab Batu, Eddi Setiawan serta seorang pengusaha bernama Filipus Djap.

 

(Baca juga: Masalah Penulisan ‘Dkk’ dalam Sprindik Pun Dipersoalkan).

 

Eddy Rumpoko dan Eddi Setiawan bakal dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana. Filipus, sebagai pihak yang diduga pemberi suap, bisa dikenakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana. Terbukti tidaknya dugaan itu akan ditentukan lewat pengadilan.

 

Mengajukan praperadilan adalah hak bagi setiap orang untuk mempersoalkan penahanan, atau penerbitan SP3, belakangan termasuk pula penetapan tersangka. Yang terakhir, yakni praperadilan atas penetapan tersangka, menjadi buah bibir karena hakim ‘mengkoreksi’ langkah KPK dalam kasus penetapan tersangka Irjen (Pol) Budi Gunawan, mantan Dirjen Pajak Hadi Purnomo, dan Ketua DPRD Setya Novanto. Tetapi nama-nama ini bukan yang terjaring lewat OTT.

 

(Baca juga: Pertimbangan Hakim Batalkan Status Tersangka Setya Novanto).

 

Tersangka yang terjaring OTT juga pernah mengajukan praperadilan. Mantan Ketua DPD Irman Gusman misalnya pernah menempuh praperadilan setelah terjaring OTT korupsi pemberian jatah impor gula kepada pengusaha Xaveriandy dan Memi di Sumatera Barat. Hakim I Wayan Karya menolak praeradilan lantaran berkas perkara sudah dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor.

 

(Baca juga: OTT, Tertangkap Tangan dan Entrapment (2)).

 

Panitera PN Jakarta Utara, Rohadi, pernah mengajukan praperadilan di dua lokasi yaitu PN Jakpus dan PN Jaksel. Di PN Jakpus, gugatan ini ditolak dengan pertimbangan bukan menjadi kewenangan pengadilan tersebut, sedangkan di PN Selatan nasibnya tidak jauh berbeda. Hakim tunggal Riyadi Sunindyo menolak gugatan tersebut. Rohadi terjaring OTT terkait dugaan suap untuk meringankan hukuman pedangdut Saipul Jamil. Ia menerima uang sebesar Rp250 juta dari commitment fee sebesar Rp500 juta.  Belakangan KPK bahkan menetapkan Rohadi juga sebagai tersangka pencucian uang karena diduga mempunyai harta yang tidak sesuai dengan pendapatannya.

 

Ada lagi praperadilan yang dilayangkan mantan Wali Kota Ciamis, Atty Suharty yang menjadi tersangka karena diduga menerima suap dalam proyek pembangunan Pasar Atas Cimahi Tahap II yang akan dikerjakan pada 2017 ini. Hakim tunggal, Kris Nugroho menyebut seluruh proses yang sudah dilakukan KPK telah memenuhi ketentuan. Hal tersebut berdasarkan pertimbangan hakim pada kesaksian yang disampaikan baik dari saksi fakta dan saksi ahli yang diajukan oleh kedua belah pihak selama proses sidang praperadilan berlangsung.

 

Juru Bicara KPK Febri Diansyah membenarkan selama ini KPK selalu memenangkan gugatan praperadilan yang dilayangkan tersangka korupsi dari hasil OTT. “Kita yakin sama prosedur dan bukti yang kita miliki. Definis tangkap tangan sudah jelas, selama ini praperadilan dari hasil OTT ditolak oleh hakim,” pungkasnya.

 

Praperadilan juga pernah dilayangkan advokat senior Otto Cornelis Kaligis. Setelah KPK menetapkannya sebagai tersangka dalam perkara suap kepada tiga hakim PTUN Medan, Tripeni Irianto, Dermawan Ginting dan Amir Fauzi serta seorang panitera Syamsul Yusfan. Permohonan praperadilan Kaligis ditolak hakim Suprapto.

 

“Menimbang bahwa berdasarkan bukti T1 (Surat Pelimpahan) dan T2 (Surat  Penetapan hari sidang) hakim praperadilan berpendapat, oleh karena atas nama terdakwa telah dilimpahkan dan mulai diperiksa di Pengadilan Tipikor sedangkan pemeriksaan praperadilan nomor 72 belum selesai, maka berdasarkan ketentuan Pasal 82 ayat 1 huruf d KUHAP permohonan praperadilan tersebut gugur. Berdasarkan Pasal 1 angka 10, pasal 77, pasal 82 ayat 1 huruf d KUHAP dan undang-undang lainnya, mengadili, dalam eksepsi menyatakan permohonan praperadilan pemohon  gugur." ujar Suprapto saat membacakan putusan di PN  Jakarta Selatan, 24 Agustus 2015 lalu.

Tags:

Berita Terkait