Kalangan Parlemen Desak Batalkan Kepesertaan BPJS Jadi Syarat Layanan Publik
Terbaru

Kalangan Parlemen Desak Batalkan Kepesertaan BPJS Jadi Syarat Layanan Publik

Instruksi Presiden No.1 Tahun 2022 tersebut dinilai bertentangan dengan hak asasi warga negara yang tengah mengalami kesulitan akibat pandemi.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Gedung MPR/DPR/DPD. Foto: RES
Gedung MPR/DPR/DPD. Foto: RES

Lewat Instruksi Presiden (Inpres) No.1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), pemerintah mengharuskan masyarakat yang ingin mendapatkan pelayanan publik harus aktif dalam kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Dampaknya, setiap warga negara yang hendak mendapatkan pelayanan administrasi publik harus menunjukan kepesertaan BPJS sebelum mendapat pelayanan publik tertentu. Seperti proses jual beli tanah, hingga penerbitan SIM dan SKCK.

Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menilai kebijakan kartu peserta BPJS Kesehatan menjadi syarat transaksi jual beli tanah, pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM), perpanjangan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) hingga naik haji dan umrah sangat berlebihan. Sebab, kebijakan tersebut dipandang memberatkan masyarakat secara luas.

“Kebijakan tersebut tidak rasional dan merupakan bentuk pemaksaan dari negara. Berulang kali saya sampaikan, pemerintah jangan sering membuat kebijakan yang kontroversial di tengah masa sulit rakyat akibat dampak pandemi Covid-19,” ujarnya di Komplek Gedung Parlemen, Senin (21/2/2022).

(Baca Juga: Syarat Kepesertaan BPJS, Ada 10 Bentuk Sanksi Tidak Mendapat Layanan Publik)

Kebijakan pemerintah tersebut merujuk pada Instruksi Presiden (Inpres) No.1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Untuk itu, LaNyalla meminta Inpres No.1 Tahun 2022 yang diteken Presiden Jokowi pada 6 Januari 2022 itu dibatalkan. Sebab, aturan tersebut bertentangan dengan hak asasi warga negara.

Dia menilai bila kepesertaan BPJS Kesehatan menjadi syarat wajib setiap warga negara dan dikenakan iuran per bulannya menjadi tidak logis karena ada sebagian kelompok masyarakat yang tidak mampu membayar iuran BPJS akibat terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), usaha bangkrut, dan persoalan lainnya.

LaNyalla memaklumi upaya pemerintah dalam mengoptimalisasi program JKN. Namun kebijakan yang dibuat tak boleh memaksa rakyat yang tengah keadaan sulit. Kebijakan pemerintah yang baik semestinya memudahkan semua urusan layanan masyarakat, bukan malah menambah beban dan kerumitan.

“Memaksa rakyat itu tidak beda dengan otoriter, seharusnya tidak boleh dilakukan di negara demokrasi kita ini,” ujar senator asal Jawa Timur itu.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait