Karena Asap, Pemerintah “Dikepung” Gugatan
Berita

Karena Asap, Pemerintah “Dikepung” Gugatan

Gugatan class action dan citizen lawsuit siap dilayangkan dari sejumlah daerah.

Oleh:
CR19
Bacaan 2 Menit
WALHI. Foto: Hol.
WALHI. Foto: Hol.

Sejumlah wilayah di Indonesia masih diselimuti asap tebal. Asap karena kebakaran hutan itu telah mengganggu kesehatan dan aktivitas warga yang terdampak. Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) dalam analisisnya menyebut kalau kebakaran lahan dan hutan yang terjadi belakangan ini diakibatkan oleh tindakan korporasi, khususnya di sektor kehutanan dan perkebunan.

Menurut WALHI, jejak titik api (hot spot) terparah terjadi di Riau. Berikutnya di Jambi, Sumatera Selatan (Sumsel), Kalimantan Barat (Kalbar), dan Kalimantan Tengah (Kalteng). Di lima provinsi itu, lokasi hot spot berada di dalam lahan konsesi milik sejumlah korporasi di bidang industri ekstraktif, antara lain logging, kelapa sawit, Hutan Tanaman Industri (HTI), dan tambang.

Misalnya saja yang terjadi di Kalteng. Kabut asap di wilayah ini sudah berlangsung hampir 14 hari lebih. Tak tanggung-tanggung, tahun 2015 ini jumlah hot spot di Kalteng mencapai 17.676 titik. Mesi sudah ada penegakan hukum yang dilakukan pemerintah dan Kepolisian, namun hal itu dinilai masih minim.

Direktur WALHI Kalteng, Arie Rompas mengatakan, dari sejumlah korporasi yang ditangani dan dilakukan pemeriksaan itu bukanlah aktor utama dalam kasus pembakaran lahan dan hutan di wilayah ini. Setidaknya, ada tiga korporasi yang dianggap Kepolisian terlibat dalam kasus ini.

Arie mengatakan, dampak kabut asap karena kebakaran itu juga menyebabkan banyaknya masyarakat yang menderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Ia berharap, pemerintah serius memperhatikan hal ini. “Penegakan hukum yang dilakukan sangat minim dan tidak menjangkau perusahaan besar. Pemerintah juga seharusnya fokus kepada penanganan korban,” katanya di Jakarta, Kamis (1/10).

Direktur WALHI Kalbar, Anton P Widjaja menambahkan, akibat kebakaran tersebut Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) dalam kurun waktu tiga minggu terakhir masuk kategori berbahaya, yakni pada level 600-800 PPM3. Atas dasar itu, WALHI Kalbar berencana akan melakukan gugatan warga negara (citizen lawsuit).

Lewat gugatan ini, Anton berharap agar negara bisa bertanggung jawab atas kejadian kabut asap yang melanda wilayah Kalbar ini. Hingga kini, WALHI Kalbar tenag menjaring dukungan warga sekitar dengan membuka posko gugatan. Dari 7 Posko yang dibuka, tercatat sebanyak 500 warga siap menggugat, dari target sebanyak 1000 warga.

“Kita ajukan gugatan citizen lawsuit untuk meminta tanggung jawab negara terkait asap ini,” kata Anton.

Gugatan juga terjadi di Pulau Sumatera. Direktur WALHI Sumsel Hadi Jatmiko mengatakan kalau pihaknya sendiri saat ini sedang mengumpulkan dan mengelompokkan kerugian-kerugian yang dialami untuk mengajukan gugatan class action. Untuk wilayah Riau, Direktur WALHI Riau Riko Kurniawan juga mengatakan kalau pihaknya akan melakukan gugatan terkait dengan asap di wilayah Riau.

Rio mengatakan, hingga WALHI Riau tengah menyiapkan dua skema gugatan, yakni melalui class action dan juga citizen lawsuit. Untuk gugatan citizen lawsuit, terdapat satu warga Riau yang menggugat pemerintah cq Gubernur Riau.

Bukan hanya dua gugatan ini saja, WALHI Riau juga berencana akan membawa permasalahan ini sampai ke Persekutuan Bangsa-Bangsa (PBB) lantaran lambatnya penanganan kasus asap yang selama ini dilakukan pemerintah Indonesia. Hal ini dilakukan lantaran kebakaran hutan dan lahan hingga menyebabkan timbul kabut asap telah menjadi bencana tahunan yang terus terulang.

“Ini untuk menjadi laporan ke PBB karena sudah 18 tahun kasus asap ini tidak ditangani negara dengan baik,” tuturnya.

Tak hanya WALHI saja yang mengawal gugatan masyarakat terkait dampak kebakaran hutan. Sejumlah advokat yang tergabung dalam DPC PERADI Pekanbaru juga tengah menampung gugatan class action dari masyarakat. Hingga Rabu (30/9), tercatat sudah tujuh orang yang sudah memberikan data lengkap atas kerugian yang dideritanya kepada pihak DPC PERADI Pekanbaru.

“Baru 7 orang yang memberikan data lengkap kerugiannya melalui perwakilan kami, kalau yang partisipan sudah banyak, selain di sosmed kami juga memberikan himbauan melalui media lokal,” kata Anggota DPC PERADI Pekanbaru, Torri Alexander Wahyudi.

Menurut Torri, DPC PERADI Pekanbaru tidak mau terburu-buru mendaftarkan gugatan class action itu ke pengadilan. Alasannya, karena ingin menyusun gugatan secara cermat dan tepat sasaran. Selain itu, pihaknya juga masih melakukan analisa sekaligus mengidentifikasi kerugian yang diderita masyarakat. Alasan lainnya, karena DPC PERADI Pekanbaru masih menunggu proses penanganan perkara yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“Kami menunggu hasil peradilan pidana tersebut sehingga bisa dijadikan sebagai subjek tergugat,” katanya.

Hak Gugat Pemerintah
Di sisi lain, Manajer Kebijakan dan Pembelaan Hukum WALHI, Muhnur Setyaprabu mengusulkan agar negara menggunakan mekanisme hak gugat pemerintah (representative standing) terkait penanganan kasus kebakaran hutan dan lahan ini. Mekanisme tersebut sudah terakomodir pada Pasal 90 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Hidup.

Lewat hak gugat pemerintah ini, Muhnur berharap, kerugian yang selama ini diderita dan dialami masyarakat Indonesia terkait kasus asap ini bisa dimintakan klaim penggantian kepada korporasi selaku pelaku pembakaran lahan dan hutan. Ia mengatakan, selama ini pemerintah tak pernah menggunakan hak gugat ini.

“Selama ini dilakukan pemerintah adalah mengajukan gugatan pemulihan lingkungan. Tapi belum menyasar bagaimana mengganti semua kerugian dan biaya masyarakat yang dikeluarkan itu diklaim ke perusahaan,” kata Muhnur.

Menurut Muhnur, jika negara tidak melakukan gugatan ini, WALHI siap mengajukan gugatan tersebut kepada sejumlah korporasi yang menjadi dalang dalam business crime judgement ini. “Kalau pemerintah tidak pakai hak representative-nya, WALHI akan melakukan langkah hukum untuk mengajukan gugatan kepada perusahaan,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait