Kasus Kekerasan Seksual di KemenkopUKM Dilaporkan, Ini Kata Komnas Perempuan
Terbaru

Kasus Kekerasan Seksual di KemenkopUKM Dilaporkan, Ini Kata Komnas Perempuan

Kasus terjadi di tahun 2019 silam dan keluarga korban membuka kembali kasus pelecehan seksual dengan melaporkan kembali kasusnya ke LBH APIK dan Ombudsman.

Ferinda K Fachri
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Belum lama ini kembali viral pemberitaan mengenai terjadinya kasus tindak pidana kekerasan seksual. Kali ini berasal dari lingkungan Kementerian Koperasi dan UMKM (KemenkopUKM). Sebagaimana dilansir dari Antara, kasus terjadi di tahun 2019 silam dimana kasus kekerasan seksual tersebut sempat ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum. Disebutkan bahwa pihak Kepolisian kala itu telah melakukan penahanan terhadap 4 terduga pelaku.

Namun, kasus disebut dihentikan saat penyidik menerbitkan Surat Peringatan (SP) 3 usai pihak keluarga korban dan para pelaku diduga bersepakat menuntaskan secara kekeluargaan dengan menikahkan salah satu pelaku dengan korban. KemenkopUKM sendiri disebut telah memberikan sanksi berupa pemecatan terhadap kedua pegawai honorer serta sanksi berat berupa penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama satu tahun dari semula kelas jabatan 7 menjadi kelas jabatan 3 terhadap 2 orang ASN yang terlibat.

“Keluarga korban membuka kembali kasus pelecehan seksual dengan melaporkan kembali kasusnya ke LBH APIK dan Ombudsman. Untuk itu, KemenkopUKM bergerak cepat membentuk Tim Independen sebagai upaya penyelesaian kasus tindak pidana kekerasan seksual di lingkungan KemenkopUKM,” ucap Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki dalam konferensi persnya, Selasa (25/10/2022) lalu.

Teten menuturkan Tim Independen terbentuk guna memenuhi 2 tugas utama yakni mencari fakta dan memberikan rekomendasi penyelesaian kasus kekerasan seksual paling lambat satu bulan. Tugas lain perumusan SOP internal penanganan tindak pidana seksual KemenkopUKM dalam jangka waktu 3 bulan. Anggota dari Tim Independen diisi oleh unsur KemenkopUKM, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta Aktivis Perempuan.

KemenkopUKM menyatakan kesiapan dalam menyajikan segala data yang dibutuhkan serta menjalin koordinasi dengan Tim Independen. “Kemenkop tidak mentolerir praktik tindak kekerasan seksual. Kalau saat ini dianggap masih belum memenuhi asas keadilan, segera kami tindak lanjuti. Kasus ini sekaligus menjadi momentum untuk kami menyiapkan SOP pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Saya sudah bertemu keluarga korban dan kita akan mengakomodir tuntutan dari keluarga korban,” terang MenkopUKM.

Terpisah, Komnas Perempuan menyampaikan keprihatinannya terhadap terjadinya praktik pemaksaan perkawinan antara korban dengan pelaku perkosaan dan dihentikannya proses hukum atas tindak pidana perkosaan di Kemenkop UKM oleh pihak kepolisian. Komnas Perempuan memandang pemaksaan perkawinan yang menjadi alasan dilakukannya penyelesaian melalui mekanisme Restorative Justice (RJ) justru menjauhkan korban dari akses atas keadilan dan pemulihan, menempatkan korban pada situasi kekerasan, menyebabkan impunitas pada pelaku dan menormalkan kekerasan seksual.

“Kasus pemaksaan perkawinan juga sering dialami oleh perempuan korban kekerasan seksual yang tujuannya untuk menutupi aib kedua keluarga agar anak yang dilahirkan korban memiliki ayah, atau untuk menghindari tanggung jawab pidana atau hukuman pidana. Modus perkawinan ini karena korban dan keluarga korban terpojokkan dengan beban menanggung stigma aib akibat perkosaan itu,” ujar Wakil Ketua Komnas Perempuan, Olivia C. Salampessy, sebagaimana dikutip dari siaran persnya, Minggu (30/10/2022).

Padahal, menurutnya pasca pemaksaan perkawinan justru menimbulkan risiko bagi korban kembali mendapatkan kekerasan dalam bentuk kekerasan seksual, kekerasan fisik, kekerasan psikis sampai dengan penelantaran di lingkup rumah tangga. Oleh karenanya, mengawinkan korban dengan pelaku perkosaan menurut Komnas Perempuan tidak sebatas meneguhkan impunitas pelaku, namun juga menjerumuskan perempuan korban perkosaan dalam rantai kekerasan.

Kondisi seperti ini yang menjadi dorongan bagi Komnas perempuan dengan masyarakat sipil mendesak tindakan mengawinkan perempuan korban dengan pelaku kekerasan sebagai suatu tindak pidana. Hal ini telah dimuat dalam Pasal 10 UU No.12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

“Walau UU TPKS berlaku per 9 Mei 2022, dan tidak dapat menjangkau peristiwa pemaksaan perkawinan dalam kasus ini. Namun, hak kosntitusional perempuan untuk bebas dari kekerasan dan diskriminasi tetap melekat, sehingga pemulihan yang menyeluruh atas tindak pemaksaan perkawinan itu harus dipenuhi oleh negara,” tegas Olivia.

Ia merujuk pada Pasal 285 KUHP, disebutkan perkosaan terkategori sebagai delik biasa dengan ancaman paling lama 12 tahun, sehingga penyelesaian yang seharusnya ialah melalui sistem peradilan pidana serta administratif dengan berlandaskan peraturan perundang-undangan tentang ASN. “Menurut informasi keluarga korban penyidik justru memfasilitasi pemaksaaan perkawinan dan karenanya tindak pidana ini dinilai selesai dan diterbitkan SP3 atau dinyatakan sebagai restorative justice. Sesungguhnya tindakan mengawinkan korban dengan pelaku perkosaan tidak dapat menjadi bagian dari restorative justice,” kata dia.

Atas kondisi yang terjadi, Komnas perempuan mengajukan 5 poin pernyataan. Pertama, mendukung Korban dan Keluarga Korban untuk mendapatkan keadilan dan pemulihan. Kedua, menghormati langkah KemenkopUKM dalam memformasikan Tim Indpenden. Ketiga, mendukung upaya hukum praperadilan atas SP3 yang dikeluarkan untuk memberikan ruang dibukanya kembali proses penyidikan kasus.

Keempat, memberikan rekomendasi terhadap Kapolri melakukan kaji ulang kebijakan Penyelesaian Perkara Melalui Keadilan Restoratif yang tidak mempertimbangkan kekhusuan kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan melengkapinya dengan pedoman penyelidikan dan penyidikan kasus Perempuan Berhadapan dengan Hukum (PBH) yang mengacu pada UU TPKS. Kelima, mengimbau media massa serta kalangan masyarakat untuk mendukung korban dan keluarga korban, salah satunya dengan tidak membebankan korban dengan stigma 'aib'.

Tags:

Berita Terkait