Kebohongan Publik
Tajuk

Kebohongan Publik

Teori hak asasi manusia yang modern menuntut hak atas informasi yang harus diberikan secara terbuka dan merata kepada setiap warga negara. Dalam wujud kesehariannya, pemberian hak atas informasi menjelma jelas dalam kehadiran kebebasan pers. Pers yang bebas mengungkap semua aspek kehidupan negara dan masyarakat menjadi serba kasat mata, tanpa 'tedeng aling-aling'.

ATS
Bacaan 2 Menit

Kita juga masih ingat bagaimana mereka menutupi kejahatan kemanusiaan atas orang-orang kiri di tahun 1965 dan sesudahnya, kasus-kasus Lampung, Kedung Ombo, Tanjung Priok, penggusuran-penggusuran tanah, dan kebijakan-kebijakan ekonomi yang sangat memihak kroni-kroni mereka, pengebirian kaum intelektual termasuk kasus Petisi 50, kasus Malari dan gerakan mahasiswa sesudahnya, penggembosan parpol-parpol termasuk PDI serta organisasi-organisasi kemasyarakatan. 

Kita juga masih ingat angka-angka statistik indikator ekonomi yang selalu menjadi kebanggaan arsitek-arsitek ekonomi orde baru, termasuk angka-angka pertumbuhan ekonomi dan GDP yang fantastik dan angka inflasi yang selalu di bawah dua digit yang bahkan mengelabui Bank Dunia dan negara-negara donor. Ternyata semua itu dibangun di atas landasan yang keropos karena tidak adanya good governance dan good corporate governance. Atau singkatnya karena semua ditutupi oleh kehobongan publik yang terus menerus disuarakan oleh corong-corong orde baru, sehingga ironisnya lama kelamaan kebohongan itu seakan menjelma dan diterima sebagai suatu kebenaran.

Sekarang ini, di masa teknologi informasi membanjiri kita dengan segala macam informasi melimpah ruah dalam berbagai bentuk media, baik cetak, elektronik maupun internet, 24 jam sehari, kita masih bisa dibuat terperangah dengan kebohongan demi kebohongan yang dilakukan oleh elite politik kita. Kasus Buloggate II yang melibatkan Akbar Tandjung cs adalah salah satunya. Kebohongan begitu kasatnya, sehingga kita tidak mampu lagi tertawa. Kita tak habis mengerti apa yang ada di belakang benak kepala mereka. Apakah mereka berpikir rakyat yang terbanjiri informasi itu begitu bodohnya.

Kebohongan atau lebih tepatnya penipuan untuk tidak membentuk Pansus Buloggate II mungkin suatu manuver politik buat PDIP, Golkar dan para sekutu barunya. Rakyat boleh terheran-heran, atau silakan tersenyum kecut. Tapi itulah politik. Hari ini kawan, besok lawan atau sebaliknya, yang penting agenda hari ini terusung baik. Tidak ada penghianatan dalam politik. Seorang demokrat di Amerika bisa menjadi Republikan besok, atau independen, atau partai hijau. Itu biasa. Juga dengan koalisi dan pengusungan agenda bersama dimana kepentingan politik bersama bisa seiring sejalan.

Kalau sikap Golkar, PDIP dan sekutu-sekutu barunya dianggap hanya sebatas kebohongan politik kepada rakyat,  di mana mencla mencle dihalalkan, ya boleh-boleh saja. Buktinya akan ada di tahun 2004 nanti, apakah konstituen mereka akan tetap loyal, pindah pilihan, atau bahkan jadi golput (golongan putih). Tapi kasus Buloggate II tetap saja kasus kriminal. Aspek bohongnya bisa jadi tetap jadi manuver politik. Tetapi kebohongan untuk menutupi tindak pidana adalah suatu tindak pidana baru. Rakyat boleh dibohongi. Hukum tidak. Kalau kebohongan di kasus Buloggate II tidak diungkap, langit di atas hukum sudah runtuh. Rakyat yang terus menerus dibohongi dan sistem hukum yang sudah runtuh adalah pertanda bagi rakyat untuk segera mengatakan cukup adalah cukup. Sistem bisa diganti, pemerintahan bisa digulung tikarnya, orang-orang bisa diganti.

Kita masih belajar, dan kita masih bisa berbuat salah. Kita masih punya cukup banyak orang-orang muda pandai dan jujur yang mau belajar cepat dan melakukan sedikit kesalahan. Dan yang lebih penting, kita masih punya orang-orang muda yang tidak akan sampai hati membohongi rakyat, baik untuk alasan politik, hukum atau alasan apapun. Mudah-mudahan ini bukan mimpi di siang bolong.

 

Tags: