Kejagung Minta Fatwa MA Soal Grasi Terpidana Mati
Berita

Kejagung Minta Fatwa MA Soal Grasi Terpidana Mati

Tujuannya agar ada kepastian hukum.

Fathan Qorib/ANT
Bacaan 2 Menit
"Tugas pemerintah melindungi segenap tumpah darah warganya dan menjamin kesehatan sehingga setiap orang atau kelompok yang mengganggu tujuan bangsa Indonesia harus dilawan dan menjadi musuh bersama dalam hal ini para pebisnis narkoba," katanya.
Melihat kenyataannya saat ini, lanjut Azmi, terpidana mati narkoba jilid 4 harus dieksekusi segera sebagai wujud sikap negara yang konsisten melawan peredaran narkoba yang semakin massif. Hal ini juga menunjukkan bahwa pemerintah hadir melindungi kepentingan yang lebih luas dari masyarakatnya.
Sebelumnya, MK dalam putusan No. 107/PUU-XIII/2015 menghapus berlakunya Pasal 7 ayat (2) UU No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi terkait pembatasan waktu pengajuan grasi ke presiden. Artinya, MK “membebaskan” terpidana mengajukan permohonan grasi kapan saja. Putusan ini mengubah aturan sebelumnya, pengajuan grasi dilakukan paling lambat setahun sejak putusan berkekuatan hukum tetap.
Pemohon perkara ini adalah Su’ud Rusli, terpidana mati kasus pembunuhan Dirut PT Asaba Budyharto Angsono. Su’ud menganggap Pasal 7 ayat (2) UU Grasi menciderai rasa keadilan karena pengajuan grasi lebih dari setahun sejak putusan inkracht dianggap daluwarsa. Pasalnya, pengajuan grasi Su’ud pada 2014 pernah ditolak Presiden Joko Widodo pada 31 Agustus 2015 yang baru diterima pada 8 Oktober 2015.
Pemohon menilai hak pengajuan grasi merupakan hak setiap warga negara yang dijamin konstitusi. Karena itu, hak pengajuan grasi kepada presiden sebagai kepala negara ini seharusnya tidak boleh dibatasi jangka waktunya karena bertentangan dengan prinsip keadilan (sense of justice) yang dijamin UUD 1945.
Namun terkait dengan uji materi Pasal 2 ayat (3) UU No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi yang memohonkan Su’ud Rusli dan Boyamin Saiman, MK secara bulat menolaknya. Intinya, MK menganggap aturan permohonan grasi hanya dapat diajukan satu kali ini tidaklah bertentangan dengan UUD 1945.
“Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua Majelis MK Arief Hidayat saat membacakan putusan bernomor 32/PUU-XIV/2016. 
Tags:

Berita Terkait