Kekeliruan Pengaturan Kejahatan Siber dalam RKUHP
Kolom

Kekeliruan Pengaturan Kejahatan Siber dalam RKUHP

Terdapat tiga alasan sebagai kontra narasi kepada para pihak yang tetap ingin memasukkan pasal penghinaan presiden atau wakil presiden dalam RKUHP.

Bacaan 5 Menit

Mahkamah dalam putusannya telah menjelaskan bahwa martabat Presiden dan Wakil Presiden berhak dihormati secara protokoler, namun kedua pemimpin pilihan rakyat tersebut tidak dapat diberikan privilege yang membedakan kedudukan mereka dengan warga negara lainnya. Para hakim konstitusi juga menerangkan bahwa pasal terkait penghinaan Presiden dan Wakil Presiden tersebut menegasikan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law), serta dapat mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat. Pertimbangan Mahkamah tidak terlepas dari posisi Indonesia sebagai sebuah negara hukum yang demokratis dan meletakkan kedaulatan tertinggi di tangan rakyat. Kemudian mengisyaratkan agar KUHP tidak lagi memuat ketentuan yang serupa.

Kedua, keliru jika membandingkan Indonesia dengan beberapa negara lain –seperti Denmark dan Islandia—yang masih mempertahankan pasal penghinaan terhadap kepala negara. Hal pertama yang harus ditelisik adalah bentuk pemerintahan yang dianut oleh masing-masing negara. Berdasarkan Pasal 1 UUD 1945, Indonesia merupakan republik konstitusional yang meletakkan kedaulatan tertinggi di tangan rakyat. Sementara, Denmark berbentuk Monarki, sehingga yang dilindungi melalui pasal tersebut adalah kehormatan seorang ratu. Kemudian, Islandia sebelum berbentuk republik memiliki sejarah ketatanegaraan yang panjang. Dari menjadi negara Persemakmuran Norwegia sampai pernah berbentuk kerajaan atau monarki. Oleh karena itu, pasal penghinaan kepala negara dipengaruhi oleh latar belakang historis tersebut. Serta yang dilindungi adalah kehormatan seorang raja atau ratu.

Harus diingat, bahwa pasal penghinaan presiden atau wakil presiden yang coba diadopsi oleh pemerintah dengan dalih menyelaraskan hukum dan perkembangan dunia digital sebenarnya merupakan aturan usang warisan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Dasar argumentasi yang dipakai untuk mempergunakan aturan hukum tersebut adalah untuk kepentingan pemerintah kolonial Belanda terhadap Indonesia. Dengan sistem monarki yang dianutnya, Belanda menuntut kepatuhan mutlak dan absolut kepada Ratunya di negara jajahan, termasuk Indonesia.

Setelah Indonesia merdeka, KUHP yang berasal dari Wetboek van Strafrecht dengan perubahan dinyatakan berlaku melalui beberapa undang-undang. Termasuk pasal mengenai penghinaan penguasa tersebut. Kata “Presiden atau Wakil Presiden” dibuat untuk menggantikan Penguasa Belanda, yaitu Ratu atau Gubernur Jenderal dan Penguasa Belanda di daerah-daerah Hindia Belanda. Berdasarkan latar belakang historis, penggunaan pasal penghinaan presiden atau wakil presiden tidak lagi relevan dengan Indonesia yang mendaku sebagai negara demokratis yang melindungi hak-hak warga negaranya.

Mencoba untuk mengintegrasikan ketentuan tersebut dalam hukum nasional saat ini hanya akan menunjukkan bahwa pemerintah tidak tahan dalam menerima kritik dan masih mempertahankan logika hukum kolonial. Situasi Indonesia saat ini yang berada di tengah iklim demokratis harus tetap dijaga dan dihindari dari undang-undang yang represif. Kebijaksanaan pembentuk undang-undang amat dibutuhkan dalam melihat kebutuhan hukum masyarakat.

Ketiga, terdapat beberapa pengaturan terkait dengan kejahatan siber yang harusnya dipertimbangkan untuk dimasukan ke dalam RKUHP. Contohnya Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Pasal yang mengatur tentang penghinaan dan pencemaran nama baik di ruang digital tersebut kerap diberdayakan untuk memenjarakan individu yang vokal mengkritik kebijakan pemerintah di media sosial.

Berdasarkan data Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), terdapat 209 kasus terkait dengan delik pencemaran nama baik yang terdapat dalam UU ITE. Data tersebut memperlihatkan bahwa terdapat kekeliruan dalam rumusan pasal hingga implementasi ketentuan tersebut. Seyogianya, undang-undang yang ditujukan untuk melindungi masyarakat dalam bertransaksi di ruang digital tidak memuat ketentuan pidana berat. Apalagi jika sampai dijadikan sebagai alat yang ditujukan untuk memenjarakan seseorang.

Tata kelola hukum digital harus dilakukan secara sinergi dan sistematis. Perihal pemidanaan yang diadopsi dari KUHP ke dalam UU ITE harus dikembalikan lagi ke asalnya. Melalui langkah itu, setiap aturan yang berhubungan dengan kejahatan siber yang bersifat umum dan mengatur tindak pidana konvensional hanya perlu di satu bukukan dalam KUHP. Hal tersebut akan memperlihatkan keseriusan pembentuk undang-undang dalam melakukan penataan hukum di Indonesia.

*)Hemi Lavour Febrinandez, Peneliti Bidang Hukum The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait