Kenapa Negara Melanggengkan Kriminalisasi atas Komunisme dalam RKUHP?
Kolom

Kenapa Negara Melanggengkan Kriminalisasi atas Komunisme dalam RKUHP?

Walaupun RKUHP membatasi kriminalisasi apabila dilakukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, tidak berarti setiap orang dengan leluasa mempelajarinya, apalagi mengembangkannya.

Bacaan 7 Menit

Atas kejadian itu, komunisme/marxisme-leninisme selanjutnya dinyatakan sebagai ajaran yang bertentangan dengan Pancasila dan PKI dicap sebagai organisasi berbahaya karena dianggap beberapa kali berusaha merobohkan kekuasaan Pemerintahan yang sah dengan cara kekerasan. Para anggota maupun simpatisan PKI pun ditangkap dan dibunuh tanpa proses peradilan. Pemerintah di bawah kekuasaan Orde Baru kemudian membangun narasi mengenai “kejahatan PKI” serta menormalisasi pembantaian yang dilakukan melalui pembuatan novel dan film dengan judul Pengkhianatan G30S/PKI. Pada versi film yang kemudian disutradarai oleh Arifin C. Noer, diputar di setiap tanggal 30 September selama Orde Baru berkuasa. Namun pemahaman mengenai sejarah G30S/PKI saat ini sudah mulai berubah. Banyak ilmuan sejarah meragukan narasi Orde Baru mengenai gerakan makar PKI tersebut.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga menyampaikan temuan yang tidak kalah penting terkait sejarah tersebut. Hasil penyelidikan yang dilakukan di lapangan menjumpai fakta bahwa ada banyak pola kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi dalam peristiwa 1965-1966 di seluruh Indonesia. Perbuatan tersebut merupakan bagian dari serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, yaitu suatu rangkaian perbuatan sebagai kelanjutan dari kebijakan penguasa.

Adapun pola kejahatan tersebut yaitu: (1) pembunuhan; (2) pemusnahan; (3) perbudakan; (4) pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; (5) perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang; (6) penyiksaan; (7) perkosaan atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; (8) penganiayaan; serta (8) penghilangan orang secara paksa.

Berbagai perubahan sosial, ekonomi dan politik yang dijelaskan di atas turut mempengaruhi sikap pemerintah terkait ajaran tersebut, termasuk pula pelarangan melalui aturan pidana. Paling tidak ada tiga babakan sejarah serta latar belakang ekonomi politik yang dapat dijelaskan mengenai hal itu; Pertama, pada era Orde Lama ajaran tersebut tidak diatur sebagai suatu tindak pidana, karena Soekarno lebih moderat dalam menyikapi keberadaan PKI dan mengakomodir ajaran marxisme sebagai bagian dari ideologi yang harus dipelajari dan dikembangkan seiring dengan pandangan tentang nasionalisme dan islamisme. Soekarno menyebutkan bahwa mempelajari, mencari hubungan antara ketiga sifat itu, membuktikan bahwa tiga haluan ini dalam suatu negeri jajahan tak guna berseteru satu sama lain, membuktikan pula, bahwa ketiga gelombang ini bisa bekerja bersama-sama menjadi satu gelombang yang mahabesar dan maha-kuat, satu ombak-taufan yang tak dapat ditahan terjangnya, itulah kewajiban yang kita semua harus memikulnya.

Kedua, pada era Orde Baru penangkapan dan pembantaian anggota serta simpatisan PKI pada tahun 1965-1966, terbitnya Ketetapan MPRS tahun 1966 serta upaya menormalisasi pembantaian melalui sastra dan film sudah memadai sebagai alasan agar PKI tidak bangkit kembali. Negara kemudian tidak lagi memerlukan aturan pidana untuk mengkriminalisasi PKI dan ideologi yang dianutnya, karena peristiwa politik dan hukum yang melatar-belakanginya sudah cukup membuat setiap orang, tidak ingin berurusan dengan organisasi tersebut serta apapun yang berkaitan dengannya. Pemerintah di bawah Soeharto sampai di akhir kekuasaannya kemudian tidak mengatur pelarangan ajaran komunisme/marxisme-leninisme di dalam KUHP.

Ketiga, pada era reformasi legitimasi mengenai “kejahatan” PKI sudah mulai memudar. Upaya pengungkapan kebenaran serta penelitian telah membuktikan berbagai kesalahan sejarah 1965-1966 versi pemerintah. Demokratisasi juga mendorong setiap orang untuk bebas berpendapat dan berani mengungkapkan setiap kebenaran yang lama dibungkam di era Soeharto. Akan tetapi warisan Orde Baru mengenai pelarangan ajaran tersebut tetap bertahan, termasuk melalui Ketetapan MPRS tahun 1966 yang masih berlaku hingga saat ini. Di sisi lain, pemerintah yang masih mempertahankan semangat anti-komunisme tidak mungkin melakukan kekejian yang sama seperti pada tahun 1965-1966 untuk menghilang jejak komunisme di Indonesia. Upaya yang bisa dilakukan untuk mengatur mengenai pelarangan ajaran tersebut, hanya bisa dilakukan dengan mengkategorikannya sebagai bagian dari kejahatan terhadap keamanan negara dan diatur sebagai tindak pidana.

Atas penjelasan tersebut di atas, posisi pemerintah baik di era Orde Baru sampai Reformasi jika menyangkut ajaran komunisme/marxisme-leninisme, ternyata tidak banyak berubah. Hukum yang diberlakukan terhadap orang yang menyebarkan maupun mengembangkan ajaran tersebut bersifat repfresif. Hukum represif sendiri identik dengan negara totaliter. Di sana, ide tentang “ketertiban” meliputi lebih dari sekedar perdamaian, tetapi dalam praktiknya usaha untuk memaksakan rekonstruksi masyarakat secara radikal memunculkan kebutuhan akan paksaan. Dikarenakan tidak mampu mengharapkan kesetiaan publik, negara totaliter dihantui ketakutan akan perlawanan dan pengkhianatan, dan karenanya harus secara terus-menerus mengandalkan sumber-sumber daya pemaksanya (yang saat ini jauh lebih canggih). Kriminalisasi merupakan bentuk pengontrolan resmi yang paling disukai. Pilihan pemerintah Indonesia untuk tetap mengkriminalisasi ajaran komunisme/marxisme-leninisme dalam RKUHP juga demikian meskipun menimbulkan pertanyaan: kenapa negara tetap melanggengkan kriminalisasi tersebut?

Tags:

Berita Terkait