Kenapa Negara Melanggengkan Kriminalisasi atas Komunisme dalam RKUHP?
Kolom

Kenapa Negara Melanggengkan Kriminalisasi atas Komunisme dalam RKUHP?

Walaupun RKUHP membatasi kriminalisasi apabila dilakukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, tidak berarti setiap orang dengan leluasa mempelajarinya, apalagi mengembangkannya.

Bacaan 7 Menit

Pasca pembubaran dan pembantaian PKI kurun waktu 1965-1966, pemerintah kemudian menerbitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing yang memuluskan perusahaan-perusahaan asing untuk berinvestasi di Indonesia. Tak hanya itu, bertakhtanya Soeharto menandai kapitalisasi besar-besaran terutama dari hasil mengeruk kekayaan alam Indonesia. Menurut Winters, pada masa memperkaya diri itu Indonesia terlibat dan terikat sistem kapitalisme global; dan bahwa kekayaan dikumpulkan dan oligarkh diciptakan oleh proses pengambilan, penyedotan, dan perampokan kekayaan alam dan uang rakyat.

Pada era reformasi, iklim demokrasi juga mulai berkembang. Tetapi oligarkh tetap bertumbuh beriringan dengan sistem kenegaraan kita saat ini, bahkan sudah menjangkau banyak hal. Pada konteks pers di Indonesia misalnya, juga tidak luput dari cengkeraman oligarkh. Menurut Ross Tapsell, para oligarkh media Indonesia sukses beradaptasi. Sekelompok pengusaha dengan cepat berhasil mendominasi era konvergensi, mengonsolidasikan sebagian besar industri. Media kapital di Indonesia pun menjadi “konglomerat digital”: pemimpin dalam produksi berita multiplatform, proses yang mendorong dibelinya pesaing-pesaing yang lebih kecil. Sebagian besar infrastruktur komunikasi di era digital berbiaya mahal. Perusahaan-perusahaan kecil menghadapi fakta bahwa mereka tidak memiliki modal untuk bersaing melawan raksasa konglomerat digital dengan dana lebih besar.

Maka atas dasar tersebut menjadi jelas, kriminalisasi penyebaran ajaran komunisme/marxisme-leninisme dalam KUHP lama dan dilanjutkan dalam RKUHP adalah bagian dari upaya agar sistem kapitalisme tersebut tetap langgeng di Indonesia. Walaupun RKUHP membatasi kriminalisasi apabila dilakukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, tidak berarti setiap orang dengan leluasa mempelajarinya, apalagi mengembangkannya. Artinya, ajaran komunisme/marxisme-leninisme yang dimaksud oleh RKUHP tetap dibatasi sedemikian rupa dengan ancaman sanksi pidana.

Pada penjelasan di atas kita dapat berkesimpulan mengenai kenapa negara melanggengkan kriminalisasi terhadap ajaran komunisme/marxisme-leninisme. Pertama secara yuridis Ketetapan MPRS tahun 1966 sampai saat ini masih berlaku. Meskipun ada upaya pencabutan ketetapan tersebut yang telah dilakukan oleh Presiden Abdul Rahman Wahid (Gus Dur), akan tetapi usaha tersebut tetap gagal. Atas apa yang dilakukan oleh Gus Dur itu pula, yang menjadi salah satu alasan DPR pada tahun 2001 mengeluarkan Memorandum I karena menganggap Gus Dur melakukan berbagai pelanggaran terhadap Haluan Negara.

Kemudian lahir pula Ketetapan MPR tahun 2003 yang menyatakan bahwa TAP MPRS tahun 1966 tersebut diberlakukan dengan berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Akan tetapi, perubahan tersebut tidak memberikan dampak signifikan terhadap pelarangan ajaran komunisme/marxisme-leninisme. Sehingga pelarangan ajaran itu akan tetap bertahan selama tidak dilakukan pencabutan.

Kedua dan ini yang lebih subtantif, selama sistem kapitalisme dan para oligarkh masih ada, selama itu pula akan ada usaha untuk memberangus apapun yang menghalanginya dengan berbagai cara. Salah satunya dengan mempertahankan atau membuat aturan hukum untuk mengkriminalisasi siapapun yang mereka anggap sebagai “musuh yang mengganggu”. Dalam konteks Indonesia saat ini, mempertahankan MPRS tahun 1966 serta pelarangan ajaran komunisme/marxisme-leninisme melalui RKUHP secara tidak langsung merupakan upaya untuk tetap mengkriminalisasi perlawanan terhadap sistem kapitalisme dan para oligarkh.

Atas argumentasi tersebut di atas, poin terpenting dari perlawanan terhadap pasal bermasalah dalam RKUHP tersebut, sesungguhnya terletak pada penentangan atas sistem kapitalisme dan para Oligarkh yang saat ini semakin menggurita di Indonesia. Tanpa semangat perlawanan yang demikian, maka kita tidak akan pernah bisa membendung pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP maupun pada aturan yang lain. Selain itu, selama sistem kapitalisme masih berjaya, selama itu pula jargon #SemuaBisaKena akan selalu menjadi kenyataan. Semakin hari kita akan dengan mudah dikriminalisasi dengan menggunakan pasal pidana, apabila aktivitas kita dianggap “membahayakan” kepentingan para oligarkh.

*)Mulya Sarmono, Pengacara Publik di LBH Pers.

Catatan Redaksi:

Artikel ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait