Kepala BPHN Prof Enny Nurbaningsih: Menyoal Delik-Delik "Kontroversial" dalam RKUHP
Problematika RKUHP:

Kepala BPHN Prof Enny Nurbaningsih: Menyoal Delik-Delik "Kontroversial" dalam RKUHP

Pemerintah memastikan mendengar masukan semua pihak, termasuk mempertimbangkan putusan MK dan peraturan-peraturan lain, seperti Peraturan MA.

Novrieza Rahmi/Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

Untuk menjawab isu-isu seputar pembahasan RKUHP, serta mengetahui perkembangan pembahasan RKUHP, Hukumonline mewawancarai Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Prof Enny Nurbaningsih di kantor BPHN, Jl. Mayjend Sutoyo, Cililitan, Jakarta Timur beberapa waktu lalu. Berikut petikan hasil wawancaranya:

 

Bagaimana perkembangan pembahasan RKUHP di DPR?

Pembahasan RKUHP sudah selesai di Panja dan sekarang masuk tahapan di Tim Perumus (Timus) dan Tim Sinkronisasi (Timsin). Kami baca ulang satu per satu dengan teliti, karena kami khawatir kalau ada hal-hal yang terlewatkan. Termasuk memperhatikan masukan-masukan dari sekian banyak pihak berkepentingan, terutama para penegak hukum karena ini menyangkut penegakan hukum. Kita berharap Indonesia paling tidak setelah 72 tahun merdeka memiliki satu UU karya bangsa sendiri. Bukan lagi peninggalan kolonial Belanda, warisan dari kode penal Perancis. Tapi, kan tidak mudah untuk membuat kode penal baru, KUHP.

 

KUHP ini menyangkut siapa saja. Kita membayangkan diri kita juga, bagaimana kalau UU ini terkena kita, sehingga kita bertanya terus kepada penegak hukum. Bagaimana nih penegakannya di lapangan. Itu yang kemudian kita konfirmasi sedemikian rupa. Jadi, kelihatannya agak pelan-pelan memang, karena pasalnya juga banyak, 746 pasal dan mungkin bisa mulur mungkret karena ada tambahan dan pengurangan.

 

Sudah berapa persen dari ratusan pasal RKUHP yang disepakati Panja DPR?

Kalau pasalnya, dari Panja sudah diketuk semua. Tinggal beberapa pending issue yang harus dibahas lebih cermat. Misalnya, menyangkut isu hukum yang hidup dalam masyarakat. Kita ingin juga mengangkat bahwa persoalan hukum yang hidup di dalam masyarakat itu bukan hal baru. Selama ini kan sudah ada. Tetapi, bagaimana kemudian kepastian hukumnya? Soal tidak terjadi transaksional dalam penegakan hukumnya? Ini harus kita sepakati bersama. Pemerintah harus menjelaskan apa yang dimaksud di situ supaya di lapangan tidak terjadi dualisme. Ini juga menjadi bagian untuk memberi kepastian hukum terhadap penegakan hukumnya, ketika kita melihat banyak sekali hukum adat di masyarakat. Ini ada satu penegakan hukum yang menggunakan sistem mereka, dimana semua itu tidak boleh melanggar hak asasi manusia (HAM).

 

Kemudian, tentang pidana mati. Pidana mati ini masih perlu dibahas lebih dalam karena masih ada pro kontra antara kelompok yang menyetujui dan anti terhadap pidana mati. Oleh karena itu, rumusan kami buat sifatnya khusus dan alternatif. Penjatuhannya pun sangat tidak mudah dilakukan, karena dia khusus yang alternatif. Bisa jadi ketika orang itu sesuai dengan tujuan pemidanaannya, sudah berbuat baik, ada perubahan yang luar biasa, dalam masa percobaan dia bisa berubah menjadi seumur hidup, lalu baik terus-menerus,  pembinaannya, bisa (berubah) menjadi 20 tahun. HAM menjadi pegangan kita. Perlindungan bagi korban, juga bagi pelaku. Kita harus melihat tujuan pemidanaan bukan penestapaan, tapi bagaimana mengembalikan orang itu menjadi orang yang baik, tidak jahat lagi.

 

Pending issue lain, misalnya ketentuan peralihan. Ketentuan peralihan itu penting. Dulu, waktu KUHP Belanda ada UU No.1 Tahun 1946 (untuk pemberlakuannya). Tapi, sekarang kan produk kita sendiri. Kita siapkan seluruhnya, baik Buku I maupun Buku II. Apakah iya kita akan menggunakan format seperti dulu? Kenapa tidak kita gunakan ketentuan peralihan? Nah, ketentuan peralihan harus kita buat sedemikian rupa karena sudah terlalu lama kita membiarkan RKUHP. Bahkan sejak Anda belum lahir sudah ada, dari tahun 1963, 1964. Itu sudah mulai ada (gagasannya), termasuk rancangannya. Jadi, itu yang kita kemudian memikirkan tentang ketentuan peralihan seperti apa yang memberikan satu bridging antara hukum lama ke hukum baru, yang tidak menimbulkan satu persoalan terkait dengan kepastian hukumnya.

 

Ada pengaturan baru soal pemidanaan dalam RKUHP?

Memang, kami baru menyadari sekali setelah membaca KUHP, kita ternyata tidak mempunyai standar pemidanaan. Kaget lho kita. Kenapa? Karena ada delik-delik yang tidak termasuk delik (dengan tingkat ketercelaan yang tinggi), dia punya minimum khusus. Ada yang empat tahun, lima tahun. Kami sekarang membuat standar. (Pidana minimum khusus) Hanya bisa dijatuhkan untuk tindak pidana tertentu saja, sehingga hakim itu juga punya ruang kebebasan. Tapi, jangan dibuat begitu, terus dia ambil seenaknya, serendah-rendahnya, nggak.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait