Kerugian Negara dari Sektor Kehutanan Triliunan
Berita

Kerugian Negara dari Sektor Kehutanan Triliunan

ICW merekomendasikan agar pemerintah segera memperbaiki kebijakan perijinan serta harus ada pengaturan yang jelas pengeluaran ijin dari pusat dan daerah.

M-7
Bacaan 2 Menit
Kerugian Negara dari Sektor Kehutanan Triliunan
Hukumonline

Selain minyak dan gas, kehutanan ternyata termasuk sektor yang penghitungan penerimaan negaranya tidak jelas. Kondisi ini terjadi karena banyak sekali pemanfaatan hutan yang tidak memiliki ijin. Hal ini diutarakan oleh Anggita Tampubolon, Peneliti ICW, dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (30/4).

 

Salah satu contoh yang diangkat ICW adalah kasus hutan di Riau. Dari hasil audit yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada semester pertama tahun 2009, menunjukkan setidaknya ada enam perusahaan yang bermasalah dalam pelaksanaan kegiatan pertambangan di kawasan hutan Riau.

 

Keenam perusahaan itu antara lain PT Riau Multi Investama, PT Budiindah Mulia Coal, PT Sawit Rokan Semesta, PT Meskom Agro Sarimas, PT Sinar Inti Sawit, dan PT Arara Abadi. Kegiatan bisnis korporasi tersebut dianggap melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk terkait tata ruang.

 

PT Arara Abadi, urai Anggita, berpotensi untuk tidak membayar Penghitungan Provisi Sumber Daya Hutan (PSHD) senilai lebih dari Rp924 milliar. Sementara, untuk dana reboisasi (DR) yang tidak dibayarkan mencapai Rp1,467 milliar lebih. Hal yang sama dilakukan PT Sawit Rokan Semesta yang membuka kawasan hutan untuk jalan perkebunan juga melanggar aturan, dan merugikan negara sebesar Rp139 milliar dan AS$4.213.

 

Pembangunan perkebunan sawit oleh PT Sinar Inti Sawit (PT SIS) di Kabupaten Bengkalis juga dinilai tidak sesuai dengan ketentuan dan menimbulkan penggunaan kawasan Hutan Produksi dan Hutan Produksi Tetap (HPT) menjadi areal sawit secara tidak sah. Akibatnya, timbul potensi hilangnya kawasan hutan yang merugikan negara dari nilai tegakan kayu sebesar lebih dari Rp14 triliun. Lalu, PT Meskom Agro Sarimas di Kabupaten Bengkalis juga dinilai melanggar hukum. Atas tindakan ini, negara pun dirugikan sebesar Rp32 milliar.

 

Masih menurut Anggita, banyak kendala yang dihadapi pemerintah dalam penghitungan penerimaan negara dari sektor kehutanan. Pertama, pajak kehutanan dan royalti kayu yang ditebang secara liar tidak pernah dipungut. Hal ini terjadi karena pemungutan pajak hanya bisa dilakukan kepada perusahaan yang memiliki ijin secara sah.

 

Kedua, besaran industri yang tidak jelas dan tidak diketahui di industri kehutanan. Ketiga, kerugian negara karena penghindaran pajak oleh exportir yang lebih sering dikenal dengan adanya transfer pricing.

 

Selain itu, masalah harga patokan kayu yang diatur pemerintah dalam SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 444/MPP/Kep/6/2003 tentang Penetapan Harga Patokan untuk Penghitungan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) juga menimbulkan polemik. Dalam SK Menteri ini, harga patokan kayu Sumatera yang bisa diterima negara adalah Rp500 ribu satuan meter kubik. Sedangkan perusahaan bisa menjual sampai angka 150 dollar, per satuan meter kubik. “Selisihnya sangat jauh”.

 

Memang, lanjut Anggita, pemerintah harus mendapatkan angka yang lebih kecil, karena perusahaan harus mendapat keuntungan. Tetapi, perbedaan selisih tersebut harus realistis.

 

Atas temuan tersebut, Koordinator Monitoring dan Analisa Anggaran ICW Firdaus Ilyas mengungkapkan kerugian negara pada pengelolahan hutan Riau sebesar Rp2,346 triliun. Untuk itu, ICW merekomendasikan agar pemerintah segera memperbaiki kebijakan perijinan serta harus ada pengaturan yang jelas pengeluaran ijin dari pusat dan daerah.

 

ICW juga memandang harus ada transparansi anggaran di sektor kehutanan. Lalu, optimalisasi penerimaan negara dari sektor kehutanan. Pemerintah, kata Firdaus, harus menagih tunggakan PSDH/DR dari perusahan. Di luar itu, menurut Firdaus, upaya penegakan hukum juga harus terus dilakukan. Temuan BPK dan masyarakat tentang adanya indikasi kerugian negara dalam sektor kehutanan harus diperiksa secara tuntas.

 

Sebelumnya, ditemui di Kementerian Keuangan, Rabu (28/4), Sekretaris Satgas Mafia Hukum, Denny Indrayana menjanjikan tidak akan mentolerir kasus mafia hutan. Satgas sendiri, lanjut Denny, telah melakukan kerjasama dengan Kementerian Kehutanan dan akan turun langsung ke daerah meninjau kasus ini. “Kita akan bekerjasama dengan siapa saja yang mendukung upaya pemberantasan mafia hutan”, tutur Denny kepada hukumonline.

Tags: