Kesatuan dalam Perbedaan, Perbedaan dalam Kesatuan
Kolom

Kesatuan dalam Perbedaan, Perbedaan dalam Kesatuan

Negara hukum yang dipilih sesuai dengan keinginan para Founding Fathers harus dipertahankan dan disertai dengan penegakan hukum yang konsisten dan konsekuen dalam kacamata pandangan hidup bangsa Indonesia.

Bacaan 6 Menit
Frans H Winarta. Foto: Istimewa
Frans H Winarta. Foto: Istimewa

Kata-kata Yunani yang asalnya dari Aristoteles tentang Zoon Politikon yang berarti manusia itu selalu hidup dalam pergaulan hidup manusia dan dalam keadaan demikian ia selalu berorganisasi. Sering kali Zoon Politikon ini diartikan sebagai “Man is a social and political being. Selanjutnya dalam pergaulan hidup di Indonesia, masyarakat Indonesia berorganisasi dalam negara Republik Indonesia.

Negara di dalam pergaulan hidup yang terdiri dari manusia mempunyai fungsi mengadakan, memupuk dan memelihara tata tertib dalam pergaulan hidup antar manusia atau masyarakat tersebut. Sedangkan dalam pergaulan menurut negara Pancasila yang berintikan kekeluargaan yang mengakui perbedaan kepribadian individu secara alami kita mengakui adanya perbedaan dalam kepribadian setiap individu, seperti kita berbeda-beda secara alami baik asal-usul, etnisitas, warna kulit, budaya, keturunan, suku, agama, dan lain-lain.

Tetapi menurut pandangan hidup yang dikemukakan oleh Ir. Soekarno, yaitu Pancasila sebagai Weltanschauung, yang berarti kita adalah satu walaupun berbeda-beda. Di dalam konsep “Kesatuan Dalam Perbedaan, Perbedaan Dalam Kesatuan” yang diajarkan oleh Profesor Soediman Kartohadiprodjo, yaitu menurut penglihatan atau Anschauung atau pandangan hidup beliau yang mengajarkan bahwa kita satu walaupun berbeda-beda atau Bhinneka Tunggal Ika atau gotong royong atau kekeluargaan.

Asal-usul yang berbeda ini bukan merupakan alasan kenapa kita tidak dapat bersatu sebagai suatu bangsa. Inilah yang masih jadi sebab perpecahan di antara kita. Apalagi kalau ada pemilihan umum seringkali terjadi polarisasi atau perpecahan terutama berdasarkan agama. Walaupun Republik Indonesia itu negara hukum dan bukan negara agama, namun masih ada sebagian orang-orang yang menganggap seolah-olah Republik Indonesia ini adalah negara agama.

Baca juga:

Dalam negara hukum itu harus ada pemisahan kekuasaan di mana masing-masing bertindak dalam batas-batas yang dibolehkan undang-undang. Kekuasaan negara dibagi tiga atau yang dikenal dengan istilah Trias Politika, yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif di mana masing-masing saling mengawasi dalam checks and balances sehingga dengan pembagian kekuasaan itu, masing-masing tidak dapat melakukan kesewenangan tetapi dalam batas yang diatur undang-undang secara tertulis.

Negara dapat dituntut di muka pengadilan oleh seseorang (individu), karena perbuatan melanggar hukum atau onrechtmatige overheidsdaad. Ini berarti di hadapan hukum atau pengadilan dapat mengadili keduanya secara sama rata sebagai individu dan negara. Hakim atau badan peradilan yang harus bebas dan mandiri dan penyelenggara negara tidak dapat mencampuri urusan pengadilan. Di mana badan peradilan dapat menguji tiap undang-undang melalui lembaga “toetsingsrecht” seperti di Supreme Court Amerika Serikat. Kebebasan beragama itu dijamin di Amerika Serikat dan pemerintah tidak dapat mencampuri urusan peradilan. Orang-orang ini sudah diatur sendiri dan negara tidak boleh ikut campur dan ada pembatasan kekuasaan negara. Mereka telah menggabungkan diri dalam suatu negara untuk mencapai sesuatu, yaitu keadilan. Inilah yang menjadi hubungan antara cita-cita negara hukum dan pemisahan kekuasaan. Suatu badan peradilan yang bebas dari segala pengaruh luar baik dari badan penyelenggara maupun dari badan perwakilan rakyat atau pembuat undang-undang (law makers).

Tags:

Berita Terkait