Ketika Informasi Draf UU Cipta Kerja Mengacaukan Ruang Publik
Berita

Ketika Informasi Draf UU Cipta Kerja Mengacaukan Ruang Publik

Draf final resmi berjumlah 812 halaman. Perubahan jumlah halaman dari versi-versi sebelumnya karena alasan berubah menjadi format legal yang semula A4.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit

Hukumonline mencoba menghubungi Kepala Pusat Perancangan Undang-Undang (PUU) DPR Inosentius untuk dimintakan pandangannya soal kejelasan draf UU Cipta Kerja. Sayangnya, Ino, begitu biasa disapa hanya menjawab pendek salam. Ino tak merespon pertanyaan yang disampaikan Hukumonline.

Sementara Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPR Indra Iskandar mengatakan draf final UU Cipta Kerja berisi 812 halaman berdasarkan pembahasan terakhir. Menurutnya, alasan perubahan jumlah halaman akibat dari format legal dalam draf cenderung lebih panjang. Naskah draf teranyar dengan 812 halaman sedang disodorkan ke meja pimpinan DPR untuk ditandangani. Kemudian draf tersebut dilayangkan ke pemerintah. Namun dia tak dapat memastikan kapan draf resmi dapat diakses publik.

Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengakui dalam rapat paripurna memang anggota dewan tidak diberikan draf RUU Cipta Kerja. Sebab, dengan 905 halaman membutuhkan lembaran kertas sedemikian banyak dikalikan dengan jumlah anggota dewan. Tapi, Arsul yakin anggota Baleg yang juga menjadi anggota Panitia Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja yang membahas tak memiliki keberanian mengubah substansi materi draf.

Begitupula saat merapihkan dan memperbaiki redaksi dan typo dalam draf UU Cipta Kerja. “Perbaikan yang dilakukan oleh Baleg bersifat editing. Tapi tidak boleh ada perubahan substansi atau penghilangan kata atau frasa yan menyebabkan sebuah UU yang disahkan menjadi berubah,” ujar politisi Partai Persatuan Pembangunan itu.

Sosialisasi

Sementara Ketua MPR Bambang Soesatyo meminta pemerintah mensosialisasikan dan memaparkan UU Cipta Kerja secara menyeluruh. Sehingga informasi soal UU Cipta Kerja dapat tersampaikan ke publik secara utuh dan valid. “Sehingga tak lagi ada tafsir keliru dan parsial (sepotong-sepotong, red) atas berbagai isu yang berkembang dalam UU Cipta Kerja, khususnya klaster ketenagakerjaan,” kata Bambang Soesatyo dalam keterangannya.

Dia meminta masyarakat lebih kritis agar tidak terhasut dengan informasi yang tak utuh mengenai UU Cipta Kerja. Meski diakui DPR maupun pemerintah belum menerbitkan draf UU Cipta Kerja secara resmi. Baginya, penolakan terhadap UU Cipta Kerja terdapat kanal demokrasi dengan menguji materi ke Mahkamah Konstitusi. Termasuk opsi lainnya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Namun Perppu menjadi hak prerogatif presiden dengan pertimbangan kondisi dan persyaratannya.

“Hormati kebebasan berpendapat, penyampaian aspirasi dan aksi dengan tertib, selama aktivitas tersebut tidak mengganggu ketertiban umum dan tidak anarki,” katanya.

Tags:

Berita Terkait