Ketua Dewan Pers: Pengabdian Pers untuk Kepentingan Publik
Hari Pers Nasional:

Ketua Dewan Pers: Pengabdian Pers untuk Kepentingan Publik

Bergiat membangun pers Tanah Air yang profesional untuk membangun bangsa.

Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

 

Tahun politik acapkali ditandai munculnya pers abal-abal. Bagaimana sikap Dewan Pers?

Kami perangi media massa abal-abal. Sejak saya dilantik sebagai Ketua Dewan Pers tahun 2016, salah satu program saya adalah memerangi praktik media massa abal-abal. Mereka merugikan dan meresahkan masyarakat. Langkah kami adalah melakukan verifikasi perusahaan pers dan melakukan uji kompetensi wartawan. Wartawan yang meliput berbagai kegiatan pemerintahan di daerah misalnya, adalah mereka yang memang memiliki kompetensi sebagai wartawan.

 

Kami sedang menyiapkan Satuan Tugas media online bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika. Banyak media online baru tumbuh di tahun politik ini. Dan ini menjadi bagian dari maraknya hoax. Antara media online dengan media sosial hampir tidak ada bedanya. Banyak media online yang sumber beritanya hanya mengutip dari media sosial. Rezim kewenangan Dewan Pers punya keterbatasan hanya soal etik.

 

Hukumonline.com

 

Apakah Anda melihat ada perubahan signifikan pada pers kita dalam menghadapi dinamika masyarakat?

Menurut saya, pers kita cenderung turun dari sisi kualitas. Wartawan tidak lagi datang ke lokasi, melakukan investigasi, mengumpulkan informasi, hanya melihat dari apa yang ada di YouTube atau mungkin terjadi begitu saja di depan matanya tanpa verifikasi yang memadai. Tidak melakukan rekonstruksi berita dari sumber-sumber yang layak. Ada satu penelitian di tahun 2012-2013 tentang 362 wartawan di Indonesia sebagai responden. Kesimpulannya, 85 persen dari responden itu menemukan ide untuk menulis berita dari gadget. Pagi membaca berita di media online lain lalu memilih yang akan ditulis lebih lanjut.Wartawan jarang lagi turun ke lapangan, tidak lagi melakukan verifikasi, wawancara narasumber bahkan dirasa cukup melalui pesan teks whatsapp.  Telepon pun tidak dilakukan.

 

Masyarakat juga ingin informasi yang instan, tidak mau lagi membaca lama. Hanya cukup menyimpulkan judul saja. Akhirnya banyak media online hanya mengejar clickbait (umpan klik). Ada media online yang memunculkan fenomena itu, judulnya kontroversial tapi isinya tidak ada kaitannya. Kacau jurnalisme macam begini. Kami sudah tegur berkali-kali. Rupanya sudah jadi kebijakan mereka untuk mengejar peringkat Alexa sebagai media yang paling banyak dikunjungi.

 

Menurut saya ukuran-ukuran ini harus berubah. Kami menghargai media online yang melakukan liputan mendalam, menghadirkan data. Mereka menjadi arus balik dari perburuan clickbait oleh media online. Banyak model bisnis media sekarang sudah seperti event organizer. Ada paket pemberitaan berbayar yang menyediakan apa saja. Idealisme makin tergerus, nilai-nilai jurnalistik diabaikan.

 

Perlu kembali pada nilai-nilai professional. Kode etik jurnalistik itu harus dijaga. Wartawan ini profesi. Kalau tidak bisa dijaga standarnya, peran orang akan hilang digantikan mesin robot. Mesin bisa membuat berita. Sementara berita itu melekat dengan kebenaran sebagai fakta yang terkait dengan etika profesi. Kalau mau profesi ini langgeng, jaga etika dan nilai-nilai profesionalitas.

 

Ada yang memprediksi profesi wartawan ini akan punah digantikan robot. Menurut saya tidak karena masyarakat masih membutuhkan investigasi. Mencari fakta tersembunyi hanya bisa dilakukan sentuhan manusia, tidak bisa oleh robot. Media perlu kembali menekuni liputan mendalam yang kaya data, investigasi, features, itu tidak bisa dilakukan robot. Pers juga harus membangun dan memenuhi hak-hak masyarakat.

Tags:

Berita Terkait