Ketua MPR: KUHP Baru Berlaku Efektif Tahun 2025
Terbaru

Ketua MPR: KUHP Baru Berlaku Efektif Tahun 2025

Dalam perjalanannya nanti, KUHP baru bakal mengalami berbagai penyempurnaan menyesuaikan kebutuhan masyarakat Indonesia.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Ketua MPR Bambang Soesatyo. Foto: Istimewa
Ketua MPR Bambang Soesatyo. Foto: Istimewa

Keberhasilan pemerintah dan DPR dalam membahas dan menyetujui Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi UU dianggap bentuk kedaulatan bangsa dalam bidang hukum. “Pengesahan UU KUHP tersebut menunjukan kedaulatan bangsa dalam bidang hukum,” ujar Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo dalam keterangannya, Kamis (8/12/2022).

Ia mengatakan dalam rentang waktu 104 tahun bangsa Indonesia menggunakan wetboek van strafrecht, KUHP warisan kolonial Belanda sudah saatnya ditinggalkan dengan menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan menjadi UU. Selain tak lagi relevan, wetboek van strafrecht tak lagi memadai dengan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia saat ini. Sebaliknya, KUHP Nasional dinilai reformatif, progresif, dan responsif dengan situasi di tanah air.

Bambang mengingatkan setelah disahkannya KUHP nasional oleh presiden nantinya beleid ini mengalami masa transisi dalam kurun waktu tiga tahun ke depan. Dengan begitu, keberlakuan KUHP Nasional bagi masyarakat Indonesia secara efektif pada Desember 2025. Seperti halnya UU lainnya, KUHP Nasional yang baru dalam kurun waktu tersebut bakal mengalami berbagai penyempurnaan dan menyesuaikan kebutuhan masyarakat Indonesia.

Baca Juga:

Menurutnya, keberadaan KUHP Nasional tak hanya sekedar menjadi momen historis, tapi harus menjadi titik awal reformasi penyelenggaraan sistem pidana di Indonesia melalu perluasan jenis-jenis pidana yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana. Dalam KUHP baru terdapat tiga jenis pemidanaan yang diatur yakni pidana pokok, pidana tambahan, dan pidana yang bersifat khusus.

Mantan Ketua Komisi III itu ingat betul materi RKUHP saat dalam pembahasan menuai perhatian serius dari masyarakat. Seperti keberadaan pasal pidana kumpul kebo, santet, vandalisme, hingga penyebaran ajaran komunis dan marxisme. Meskipun sejumlah pasal-pasal tersebut sudah terdapat kajian mendalam dari pemerintah dan DPR dengan melibatkan elemen masyarakat.

Bamsoet, begitu biasa disapa itu, melanjutkan adanya pertentangan dari pihak asing soal pasal kumpul kebo tak perlu dikhawatirkan. Sebab, keberadaan pasal tersebut telah sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia. Bahkan sesuai dengan kultur budaya dan ajaran dari berbagai agama yang dipeluk bangsa Indonesia.

“Berbagai pasal tersebut masih mendapatkan sorotan publik, maka pemerintah dan DPR RI perlu sosialisasi masif lebih gencar lagi UU KUHP ke berbagai kelompok masyarakat,” ujar politisi Partai Golkar itu.

Sementara Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly mengatakan dengan disahkannya RKUHP menjadi UU menjadi peletak dasar bangunan sistem hukum pidana nasional Indonesia dalam mewujudkan dekolonisasi KUHP peninggalan colonial, serta sebagai refleksi kedaulatan nasional yang bertanggung jawab.

Menurutnya, RKUHP telah melalui pembahasan secara transparan, teliti, dan partisipatif. Pemerintah dan DPR telah mengakomodasi berbagai masukan dan gagasan dari publik. Bahkan, RKUHP telah disosialisasikan ke seluruh pemangku kepentingan, seluruh penjuru Indonesia. Namun, perjalanan penyusunan RKUHP tersebut tidak selalu mulus. Pemerintah dan DPR kerap dihadapkan dengan pasal-pasal yang dianggap kontroversial diantaranya pasal penghinaan Presiden, pidana kumpul kebo, pidana santet, vandalisme, hingga penyebaran ajaran komunis. Namun, Yasonna meyakinkan masyarakat terkait pasal-pasal tersebut telah melalui kajian berulang secara mendalam.

Mantan anggota dewan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu menilai, pasal-pasal yang dianggap kontroversial bisa memicu ketidakpuasan golongan-golongan masyarakat tertentu. Dia mengimbau pihak-pihak yang tidak setuju atau protes terhadap KUHP Nasional dapat menguji materil pasal-pasal dimaksud ke Mahkamah Konstitusional.

“KUHP ini tidak mungkin disetujui 100 persen. Kalau masih ada yang tidak setuju, dipersilakan melayangkan gugatan ke MK,” katanya.

Tags:

Berita Terkait