Kewajiban Negara Melindungi Pekerja Migran Indonesia
Kolom

Kewajiban Negara Melindungi Pekerja Migran Indonesia

​​​​​​​Putusan MK dapat menjadi patokan bagi seluruh stakeholder untuk memiliki persepsi atau pandangan yang sama dalam hal memberikan perlindungan yang menyeluruh bagi TKI atau Pekerja Migran Indonesia.

Bacaan 7 Menit
  • Isu Konstitusional Terkait Sanksi Pidana

Menurut MK, frasa “setiap orang” dalam ketentuan pidana berarti berlaku kepada siapa saja yang melanggar ketentuan pidana tersebut, baik perorangan termasuk kelompok orang maupun badan hukum. Oleh karenanya, menurut MK, ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 82 huruf a dan Pasal 85 huruf a UU 18/2017, berlaku bagi siapa saja yang melanggar ketentuan pasal tersebut.

Selain itu, menurut MK, penulisan frasa "setiap orang" juga dimaksudkan untuk menindak orang-orang yang terlibat dalam kegiatan penempatan TKI/PMI yang melanggar ketentuan pidana. MK berpandangan, perumusan frasa "setiap orang" sudah tepat karena berdasarkan doktrin vicarious liability apabila badan hukum melakukan tindak pidana, maka bukan badan hukum yang dikenakan tindak pidana melainkan orang yang menjalankan badan hukum tersebut.

Ditambah lagi, menurut MK, pasal a quo yang mengatur tentang larangan dan juga sanksi pidana yang diberlakukan bukan hanya untuk orang tetapi juga badan hukum yang juga merupakan subjek hukum yang ikut bertanggung jawab dalam penempatan PMI yang dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum atas perbuatan hukum yang dapat menimbulkan kerugian. Hal tersebut semakin menegaskan adanya pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Hal lain yang juga menjadi penting dan harus diperhatikan oleh Pemohon, menurut MK, adalah adanya pandangan Pemohon yang menyatakan bahwa dengan berlakunya pasal terkait sanksi pidana yang diatur dalam bab ketentuan pidana yang terkesan tidak adil dan seolah-olah hanya perusahaan saja yang akan terkena sanksi pidana, hal tersebut adalah pandangan yang keliru. Menurut MK, dengan berubahnya regulasi pengurusan perizinan yang lebih menitikberatkan pada perlindungan TKI/PMI dengan sistem yang terpadu dan satu atap maka pengaturan sanksi pidana yang diatur dalam pasal tersebut bukan hanya dititikberatkan kepada perusahaan sebagai pelaksana penempatan TKI/PMI di luar negeri tetap juga seluruh stakeholder yang terkait dengan penempatan TKI/PMI di luar negeri baik orang perseorangan maupun korporasi.

Menurut MK, seluruh stakeholder yang terkait dengan penempatan PMI mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, P3MI, mitra usaha, pemberi kerja, pejabat terkait, harus memiliki persepsi atau pandangan yang sama dalam hal memberikan perlindungan yang menyeluruh bagi PMI sehingga seluruh PMI harus dilindungi dari perdagangan manusia, perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta segala perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia.

Untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan pengawasan dan penegakan hukum yang tegas dan konsisten. Dalam konteks ini, pengawasan mencakup perlindungan baik sebelum bekerja, selama bekerja, maupun setelah bekerja. Sementara itu, penegakan hukum meliputi sanksi administratif dan sanksi pidana. Dengan demikian menurut Mahkamah hal tersebut telah sejalan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.

Secara keseluruhan MK menolak seluruh dalil argumentasi Pemohon dan secara garis besar MK kembali memberikan semacam guideline kepada kita semua sebagai masyarakat yang terikat dengan UU tersebut dan juga kepada seluruh stakeholder yang terkait dengan penempatan TKI/PMI di luar negeri agar benar-benar menjalankan regulasi perlindungan TKI/PMI secara utuh dengan mengedepankan hak asasi manusia yang dilindung oleh Konstitusi Indonesia (UUD 1945).

Semoga putusan MK tersebut dapat menjadi patokan bagi seluruh stakeholder yakni pemerintah pusat, pemerintah daerah, P3MI, mitra usaha, pemberi kerja, pejabat terkait, sehingga memiliki persepsi atau pandangan yang sama dalam hal memberikan perlindungan yang menyeluruh bagi TKI/PMI dari perdagangan manusia, perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta segala perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia.

*)Hani Adhani, PhD Candidate, Faculty of Law, IIUM Malaysia. Alumni, FH UMY, FH UI dan The Hague University.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait