Kewenangan MK Mengadili Sengketa Pilkada Bersifat Permanen
Terbaru

Kewenangan MK Mengadili Sengketa Pilkada Bersifat Permanen

Hal itu termuat dalam Putusan MK No. 85/PUU-XX/2022 yang menyatakan peradilan khusus tidak relevan lagi. Sebab, kewenangan tersebut ditegaskan menjadi kewenangan MK.

Oleh:
Ferinda K Fachri
Bacaan 2 Menit
Sekjen MK Prof M. Guntur Hamzah saat Seminar Nasional bertema 'Konstitusionalitas Pemilihan Kepala Daerah” yang digelar APHTN-HAN - FH Unej, Sabtu (19/11/2022). Foto: Humas MK
Sekjen MK Prof M. Guntur Hamzah saat Seminar Nasional bertema 'Konstitusionalitas Pemilihan Kepala Daerah” yang digelar APHTN-HAN - FH Unej, Sabtu (19/11/2022). Foto: Humas MK

Mahkamah Konstitusi (MK) bekerja sama dengan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Jawa Timur dan Fakultas Hukum Universitas Jember (FH Unej) telah menggelar Seminar Nasional dan Refleksi Akhir Tahun 2022. Kegiatan tersebut mengusung tema “Konstitusionalitas Pemilihan Kepala Daerah”. Pada kesempatan itu, Sekretaris Jenderal MK, M. Guntur Hamzah menjadi pembuka dan keynote speaker acara.

“Secara konstitusional norma dalam UUD Tahun 1945 mengamanatkan enam prinsip pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) yang demokratis yakni prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan norma Pasal 22E ayat (1) UUD 1945,” ujar M. Guntur Hamzah di Auditorium FH Unej sebagaimana dikutip dari situs resmi MK, Sabtu (19/11/2022).

Ia menerangkan prinsip-prinsip yang dimaksud sebagai mandat konstitusi, maka wajib dipegang teguh serta dilaksanakan dalam ajang pemilu nasional maupun pemilihan kepala daerah (Pilkada). Keduanya harus dilaksanakan dengan menjadikan prinsip-prinsip pemilihan demokratis yang berlaku secara universal sabagai dasar pijakan.

Berkenaan dengan pilkada, sudah digariskan secara tegas dan jelas dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. “Demi efisiensi, proses pilkada langsung pun dilaksanakan secara serentak dan bertahap guna menyamakan masa jabatan kepala daerah pada masa mendatang,” kata dia.

Dari hasil pilkada, sama halnya dengan penyelenggaraan pemilu seringkali terjadi perselisihan. Terkait dengan sengketa hasil penghitungan suara pilkada, disebutkan Guntur sebetulnya semula adalah kewenangan Mahkamah Agung (MA). Sampai pada akhirnya melalui UU No.12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dialihkan kewenangan tersebut kepada MK.

Lebih lanjut, berdasarkan Putusan MK No.97/PUU-XI/2012, kewenangan penyelesaian sengketa hasil pilkada merupakan kewenangan badan peradilan khusus. Akan tetapi sampai badan tersebut dibentuk, maka kewenangan mengadili dilimpahkan kepada MK. Namun, dengan lahirnya Putusan MK No.85/PUU-XX/2022, ditafsirkan UUD 1945 tak lagi melakukan pembedaan pemilu nasional dengan pilkada.

“Secara sistematis, hal ini berakibat pada perubahan penafsiran atas kewenangan MK yang termaktub dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Oleh karenanya, sehubungan dengan konstitusionalitas lembaga yang berwenang menyelesaikan perselisihan hasil pilkada melalui badan peradilan khusus yang dimaksud, kemudian menempatkan kewenangan demikian langsung menjadi kewenangan MK,” terang Guntur.

Di hadapan para peserta diskusi itu, Prof Guntur mengingatkan dengan adanya Putusan MK No. 85/PUU-XX/2022 itu lantas menegaskan bahwa peradilan khusus tidak relevan lagi. “Jika dibaca undang-undang kesannya ada peradilan khusus (sengketa pilkada, red), namun dengan adanya Putusan MK No.85/PUU-XX/2022, maka peradilan khusus tersebut menjadi tidak relevan lagi. Sebab, kewenangan tersebut ditegaskan menjadi kewenangan MK. Dengan demikian, kewenangan MK untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah sudah bersifat permanen,” katanya.

Tags:

Berita Terkait