Kinerja KPK Dievaluasi, Begini Catatan Masyarakat Sipil
Berita

Kinerja KPK Dievaluasi, Begini Catatan Masyarakat Sipil

Penetapan korporasi sebagai tersangka kasus korupsi diapresiasi.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit

Kisruh internal

Pada 29 Maret 2019, 84 penyelidik dan 30 penyidik KPK mengirimkan surat petisi berjudul “Hentikan Segala Bentuk Upaya Menghambat Penanganan Kasus” ke pimpinan KPK terkait lima penyebab terhambatnya penanganan perkara korupsi di KPK.

Semua berasal dari pegawai internal, tidak ada penyidik dari unsur kepolisian dan kejaksaan. Berbagai rintangan tersebut dianggap dapat merintangi tugas pemberantasan kroupsi, seperti pengembangan perkara lebih tinggi, kejahatan korporasi, dan tindak pencucian uang. Hingga 12 April lalu, pendukung petisi bertambah menjadi hampir 500 orang yang meluas ke Kedeputian lain, seperti Kedeputian Pencegahan.

Hambatan yang dimaksud yaitu penanganan perkara, OTT yang bocor, perlakuan istimewa terhadap saksi tertentu dan pemanggilan saksi yang tidak dipenuhi, pencekalan dan pencegahan yang tidak disetujui kemudian yang terakhir pembiaran dugaan pelanggaran berat.

(Baca juga: KPK Lakukan OTT di Jawa Timur).

Poin terakhir, perkara dugaan pelanggaran berat yang ditengarai pelakunya pegawai di Bagian Penindakan KPK tidak sepenuhnya ditindaklanjuti oleh pimpinan KPK. Penanganan perkara oleh Pengawas Internal juga diduga tidak transparan. Contohnya terdapat pada perusakan barang bukti berupa buku catatan keuangan milik Basuki Hariman, terpidana dalam kasus suap mantan hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar. Adapun penyidik KPK, Ajun Komisaris Polisi RR dan Komisaris  HR hanya dikembalikan ke kepolisian meskipun kuat dugaan terlibat dalam perkara ini, dan tidak dikenai pasal telah menghalangi penyidikan.

Perkara-perkara yang diduga terhambat ditengarai melibatkan kekuasaan dengan aneka alasan, mencakup (1) dugaan suap dagang jabatan di Kementerian Agama yang melibatkan M. Romahurmuziy (mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan), (2) korupsi dana hibah KONI di Kementerian Pemuda dan Olahraga yang melibatkan Sekretaris Jenderal KONI, Ending Fuad Hamidy, (3) dugaan suap dan gratifikasi dari PT Humpuss Transportasi Kimia yang melibatkan anggota DPR dari Partai Golongan Karya Bowo Sidik, dan (4) dugaan korupsi terkait divestasi saham sebuah perseroan yang diduga melibatkan seorang mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat.

(Baca juga: Berbagai Cara Koalisi Desak Penuntasan Kasus Novel Baswedan).

Mekanisme pengangkatan dan rotasi pegawai juga masih harus diperbaiki. Ketika tahun 2018 lalu masyarakat dihebohkan tentang sistem rotasi SDM di KPK yang dianggap bermasalah. Bahkan Wadah Pegawai KPK melakukan protes hingga mendaftarkan gugatan ke PTUN.

Wadah Pegawai menganggap rotasi dan mutasi pegawai ini dilakukan secara tidak adil dan tidak transparan. Kebijakan Pimpinan KPK dalam merotasi 14 jabatan eselon II dan III tersebut dinilai melanggar Peraturan KPK No. 7 Tahun 2013 tentang Nilai-Nilai Dasar Pribadi, Kode Etik, dan Pedoman Perilaku KPK.

Baru-baru ini proses pengangkatan 21 penyidik internal di tahun 2019 juga mendapatkan protes dari pihak Polri. Surat dari Polri kepada Ketua KPK Agus Rahardjo yang dikirimkan pada 3 Mei 2019 ditandatangani Direktur Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Erwanto Kurniadi dan berisi daftar nama 97 penyidik Polri penugasan KPK.

Ke-97 penyidik Polri yang pernah ditugaskan di KPK itu menyebut KPK kuat dengan bekerja sama dengan Polri, Kejaksaan Agung, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), bukan karena peran satu unsur saja. Mereka meminta pimpinan KPK untuk tidak menerapkan kebijakan yang eksklusif, terutama dalam hal pengangkatan penyidik di KPK.

Tags:

Berita Terkait