Kisah Abu Hanifah dan Sekantung Uang: Melihat Korupsi dari Perspektif Fikih
Edsus Lebaran 2019

Kisah Abu Hanifah dan Sekantung Uang: Melihat Korupsi dari Perspektif Fikih

Kalau profesor doktor menyuap untuk mendapatkan jabatan, maka tak ada lagi gunanya gelar itu.

Aji Prasetyo/Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

 

Kemungkinan pertama, jika antara pemberi hadiah dan pejabat tidak ada atau tidak akan ada urusan apa-apa, maka memberikan dan menerima hadiah tersebut tidak haram. Kemungkinan kedua, jika antara pemberi hadiah dan pejabat terdapat urusan (perkara), maka bagi pejabat haram menerima hadiah tersebut; sedangkan bagi pemberi haram memberikannya jika pemberian dimaksud bertujuan untuk meluluskan sesuatu yang batil (bukan haknya). Kemungkinan ketiga, jika antara pemberi hadiah dan pejabat ada sesuatu urusan, baik sebelum maupun sesudah pemberian hadiah dan pemberiannya tidak bertujuan untuk sesuatu yang batil, maka halal (tidak haram) bagi pemberi hadiah itu, tetapi bagi pejabat haram menerimanya.

 

Ada lagi Fatwa MUI yang dihasilkan pada Munas ke-8 di Jakarta tahun 2010. MUI membahas persoalan politik uang dalam pemilu. Pada pokoknya MUI menyatakan bahwa pemilihan pemimpin secara langsung di tingkat daerah ternyata menimbulkan praktik kapitalisme dan liberalisme, yang mengakibatkan politik uang. MUI meminta pemerintah dan DPR mengkaji ulang pemilihan langsung karena maraknya politik uang (risywah siyasiah). Setelah itu, masih ada pandangan-pandangan MUI lain yang relevan, dan pada dasarnya mengharamkan praktik suap.

 

Cendekiawan Muslim seperti Bismar Siregar (almarhum) termasuk yang banyak mengingatkan pentingnya para penyelenggara negara, khususnya hakim, menghindari praktik korupsi. Dalam kata pengantarnya untuk buku Islam dan Gerakan Moral Antikorupsi (1997), Bismar menuliskan “seharusnya kita istighfar karena melihat korupsi begitu banyak macamnya baik korupsi harta, korupsi ilmu, maupun korupsi waktu, dan yang paling parah adalah korupsi waktu.

 

Dari skala kecil pengurusan surat-surat kependudukan pun warga masyarakat sudah berhadapan dengan korupsi. Apa penyebab korupsi begitu ‘membudaya’? Menurut Bismar, jika ingin mencari penyebab perbuatan korupsi, jangan dicari dalam kebersamaan, tetapi carilah dalam kedirian. Ajukan pertanyaan templatif ke dalam diri: adakah aku seorang koruptor?

 

Mengajak Ormas Keagamaan

KPK juga telah lama menyadari pentingnya mencegah praktik korupsi dengan pendekatan keagamaan. Tokoh-tokoh agama dilibatkan dalam pendidikan antikorupsi dan pencegahan di berbagai lini.

 

Semangat itu pula yang tercermin ketika KPK mengadakan acara buka puasa bersama dengan 300 peserta yang merupakan pimpinan dari 69 pengurus ormas Islam dan lembaga dakwah Islam serta 79 takmir masjid di lingkungan Kementerian/Lembaga/BUMN dan TNI-Polri, pada Senin (20/5).

 

Dalam kesempatan ini, KPK mengajak seluruh organisasi Islam untuk memperkenalkan nilai-nilai antikorupsi melalui media dakwah di lingkungan masing-masing. Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan selama ini organisasi Islam yang ada belum memiliki misi utama untuk memberantas korupsi.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait