Kisah Dewey & LeBoeuf, Keruntuhan Firma Hukum Terbesar dalam Sejarah
Utama

Kisah Dewey & LeBoeuf, Keruntuhan Firma Hukum Terbesar dalam Sejarah

Sempat menjadi mega firm. Kurang dari 5 tahun setelah merger, Dewey & LeBoeuf secara resmi mengajukan kebangkrutan pada pertengahan tahun 2012.

Ferinda K Fachri
Bacaan 4 Menit
Foto: Bloomberg Law
Foto: Bloomberg Law

Dewey & LeBoeuf merupakan firma hukum bergengsi yang pada masa kejayaannya, bahkan sempat memiliki lebih dari 1.300 lawyers dan 26 kantor di seluruh dunia. Akan tetapi, secara perlahan eksistensinya hancur berkeping-keping hingga hanya meninggalkan luka mendalam bagi para lawyer dan karyawannya.

Kisah bermula dari firma hukum LeBoeuf, Lamb, Greene & MacRae yang pada puncak kejayaannya memiliki sekitar 650 lawyers dengan domisili utama sebagai firma hukum di New York. Meski juga memiliki kantor di Washington, London, dan Moscow. Atas kesuksesan itu, Steve Davis sebagai chairman melihat masih terdapat limitasi sebagai firma menengah. Menurutnya, terdapat 2 opsi yang bisa dilakukan yakni antara menyusut menjadi boutique firm yang lebih kecil atau tumbuh menjadi super firm yang bisa menarik 'blue chip clients' dalam practice area yang lebih luas.

“Banyak firma yang merasakan tekanan itu (memilih untuk mengekspansi firma atau tidak). Dan banyak konsultan hukum yang mengatakan, ‘Anda harus bisa jadi lebih besar, Anda harus bisa bergerak di nasional, Anda harus bisa bergerak global (karena) hanya ada sedikit pemain global’,” ungkap Akademisi Harvard Law School David Wilkins sebagaimana dikutip dari wawancaranya dengan Bloomberg Law dalam dokumenter berjudul Steven Davis and the Rise and Fall of Dewey & LeBoeuf, Rabu (3/8/2022) lalu.

Baca Juga:

Davis memutuskan untuk tumbuh mengubah LeBoeuf dari mid-sized firma hukum New York menjadi suatu yang lebih besar dan berjangkauan internasional. Dengan ambisi itu, akhirnya LeBoeuf memulai program perekrutan besar-besaran. Sampai pada tahun 2005 tidak tanggung-tanggung menggandeng lawyer ternama Ralph Ferrara dengan iming-iming bonus sebesar 16 juta USD. “Ralph membawa practice area yang pada satu titik kami tidak pernah miliki sebelumnya,” ungkap Davis.

Di awal tahun 2007, LeBoeuf telah membawa masuk hampir dua lusin Partners. Dengan masifnya perekrutan Partner lateral dilakukan, di sisi lain Davis memiliki ketakutan akan sengketa dengan salah satu lawyer top LeBoeuf. Demi menjaga firma hukumnya khawatir bila tim asuransinya pergi meninggalkan firma, maka ia berpikir perlu dilakukan sebuah merger dengan firma lain.

Firma yang mencuri perhatian Davis waktu itu ialah Dewey Ballantine. Salah satu firma yang dihormati di New York yang mencapai puncak keemasannya di era 70-an. Tapi sejak 1980, Dewey Ballantine mulai mengalami masalah keuangan. Akhirnya, Davis berkontak dengan manajemen Dewey Ballantine dan mulai mendiskusikan tentang potensi merger kedua firma. Pada 1 Oktober 2007 Dewey Ballantine dan LeBoeuf, Lamb, Greene & MacRae secara resmi merger menjadi Dewey & LeBoeuf dengan Steve Davis diposisikan sebagai chairman.

Namun ternyata setelah dilakukan merger, dijumpai sejumlah masalah. Sebut saja terkait kultur kantor yang berbeda antara Partner Dewey dengan Partner LeBoeuf. Satu tahun pertama merger dari pandangan Davis semua berjalan cukup baik mengingat angka revenue dan jumlah kantor serta lawyer-nya. Hanya saja di kuartal keempat tahun 2008 dimana terjadi global financial crisis, semua berubah drastis.

Finance practice berlaju dari 100 mil per jam menjadi nol, berhenti berjalan di treknya. Komite eksekutif firma bertemu serta membicarakan keberlangsungan dan apa yang kami putuskan, kami akan lakukan pemotongan pengeluaran secara masif. Kami harus mempertimbangkan PHK karyawan besar-besaran, kami mempertimbangkan menutup sejumlah kantor. Saat itu adalah periode yang amat menyiksa,” ujar Steve Davis.

Hukumonline.com

Ex Chairman Dewey & LeBoeuf, Steve Davis saat diwawancarai Bloomberg Law

Sebelum runtuh, Bloomberg Law menyebutkan terdapat lebih dari 100 Partners dengan pengaturan kompensasi ‘spesial’. Mengingat jika hendak membawa seorang lawyer dari firma lain tentu harus dapat mengkompensasi lawyer terkait risiko yang mereka ambil. Sehingga mau tidak mau firma dihadapi dengan besarnya angka yang harus dibayar.

Pada 28 Mei 2012, akhirnya beredar pemberitaan mengenai Dewey & LeBoeuf memiliki masalah cash flow. Saat itu, sejumlah Partners dan Associate mulai angkat bicara. Satu demi satu lawyer bergengsi, seperti Mort Pierce dan Jeff Kessler yang sebelumnya menghasilkan keuntungan besar bagi firma mulai berjalan keluar. “Kami belum membangun loyalitas dan 'perekat' untuk menjaga orang-orang tetap bersama di kala masa-masa sulit,” kata dia.

Hingga akhirnya di pertengahan 2012, keempat pimpinan insurance practice group dari Dewey & LeBoeuf yang sangat membawa banyak keuntungan mengundurkan diri. Hal ini sebagai ‘final blow’ yang fatal. Kurang dari 5 tahun setelah merger yang dahulu dianggap menjanjikan dari kedua firma hukum ternama di kota New York, Dewey & LeBoeuf secara resmi mengajukan kebangkrutan pada pertengahan 2012.  

Dari kisah di balik firma hukum Dewey & LeBoeuf yang disebut-sebut sebagai “keruntuhan firma hukum terbesar dalam sejarah” ini dapat diambil pembelajaran mengenai pentingnya memperhatikan manajemen firma hukum. Berkaitan dengan itu, Managing Partner Assegaf Hamzah & Partners (AHP) Bono Daru Adji berbagikan cara bagaimana AHP sebagai firma hukum di Indonesia yang memiliki jumlah Partner dan karyawan yang cukup banyak, dapat menjaga kelangsungan firma hukum.

“Menurut saya itu (manajemen firma) salah satu kunci utama dari kesuksesan firma hukum. Managing Partner yang umumnya dijabat oleh Partner Senior tidak bisa berbuat banyak tanpa dukungan manajemen yang kuat. Dari awal kita harus sudah memilih tim manajemen yang kuat dan tepat. Apabila kita sudah menemukan tim yang benar, arahan-arahan yang jelas harus diberikan kepada mereka. Jadi mereka tidak hanya melakukan satu eksekusi yang dibuat oleh Managing Partner, tapi juga membantu dalam menciptakan satu strategi. Mereka (tim manajemen) harus terus dikembangkan dan harus diberikan penghargaan yang baik,” ujar Bono.

Tags:

Berita Terkait