Kisah Kawin Beda Agama, Menantang Arus dan Problematik Klasik
Feature

Kisah Kawin Beda Agama, Menantang Arus dan Problematik Klasik

Memilih jalan yang dinilai tak lazim bagi sebagian manusia memang harus melewati berbagai tantangan dan masalah. Mungkin itu yang dirasakan oleh para pelaku kawin beda agama. Meski UU Perkawinan tidak melarang maupun mengatur perkawinan beda agama secara spesifik atau khusus, namun narasi kawin beda agama dilarang di Indonesia membuat praktik perkawinan beda agama sulit untuk dilakukan.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 8 Menit

Jonathan menyebut perkawinan beda agama di Singapura membutuhkan dokumen yang sama layaknya perkawinan seagama yang diselenggarakan di Indonesia, di mana harus menyiapkan dokumen-dokumen dari RT, RW dan sebagainya. Lalu berkas tersebut didaftarkan di sebuah lembaga bernama Registry of Marriage (ROM). Saat prosesi perkawinan yang diselenggarakan di ROM, harus menyertakan saksi dari kedua belah pihak. Adapun tata cara perkawinan dilakukan dengan membaca sumpah dalam bahasa Inggris, yang dilakukan sebanyak dua kali, yakni sumpah terkait keaslian berkas dan sumpah perkawinan.

Hukumonline.com

Sertifikat nikah di ROM Singapura. Foto: Dok Pribadi.

“Dari yang saya baca, setelah menikah beda agama harus didaftarkan di Dukcapil, kalau Dukcapil menolak mendaftarkan harus ke pengadilan. Karena nggak mau ribet, akhirnya ke Singapura, pakai hukum Singapura. Hanya saja biayanya cukup besar kalau menikah di Singapura. Saya waktu itu total habis sekitar Rp50 juta. Karena di Singapura ada kewajiban salah satu pasangan harus staycation selama dua puluh hari di Singapura sebelum nikah. Ya, habis untuk penginapan dan tiket pesawat,” tutur pria bergelar Sarjana Hukum dari Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, ini.

Setelah mengantongi sertifikat perkawinan secara sipil dari otoritas Singapura, Jonathan menuju ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) sesuai domisili KTP untuk mencatatkan perkawinannya. Syukurnya, tak ada aral melintang. Hingga saat ini, sertifikat perkawinan tersebut kerap digunakan untuk mengurus segala urusan administrasi termasuk pencatatan akta kelahiran buah hatinya.

Pun demikian, bagian paling menegangkan dari perjalanan menuju perkawinan adalah restu dari pihak keluarga, terutama keluarga istri yang menganut agama Islam. Lahir dari keluarga yang taat, rencana perkawinan beda agama sempat ditentang oleh keluarga sang kekasih. Sementara Jonathan yang lahir dan besar dari agama Kristen Protestan, lebih terbuka dalam menerima perbedaan agama. Bahkan penolakan itu membuat hubungan keduanya menjadi renggang hingga sempat putus nyambung.

Dalam kondisi ini, Jonathan mengakui bahwa mental adalah sisi paling penting rentan untuk digoyahkan. Dia mengatakan dalam momen tersebut, dirinya terus berkonsultasi dengan pemuka agama Kristen Protestan untuk meminta masukan dan nasihat atas rencana perkawinannya. Begitu pula sebaliknya, sang istri mencari nasihat kepada pemuka agama Islam. Selama satu tahun berjuang demi sebuah restu, lampu hijau pun akhirnya datang dari pihak keluarga sang istri dengan beberapa catatan, salah satunya terkait pola asuh anak.

“Saat itu saya bilang ke istri, saya janjiin kalau anak ikut istri. Ya, meskipun di awal-awal pernikahan saya sempat ditagih kapan pindah (ke Islam), tapi saya jawab iya, nanti aja. Karena jangan sampai pindah agama karena nikah, pindah agama itu ya hidayah,” tutur pria yang kini bekerja di salah satu institusi penegak hukum ini.

Kisah serupa juga dituturkan oleh SW dan CL. Pasangan yang menikah sepuluh tahun silam ini mengaku nyaman dengan perbedaan keyakinan dalam rumah tangganya. Rasa nyaman, saling melengkapi, dan personality yang baik dari pasangan membuat keduanya siap menantang arus. Ibarat berjalan melawan arah angin, untuk mencapai tujuan tentulah membutuhkan effort yang lebih besar.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait