Koalisi LSM Kritik Cara Pansel KPK Wawancara Calon
Berita

Koalisi LSM Kritik Cara Pansel KPK Wawancara Calon

Ada perlakuan berbeda terhadap calon tertentu.

CR-19
Bacaan 2 Menit
Koalisi LSM Kritik Cara Pansel KPK Wawancara Calon
Hukumonline
Tahap tes wawancara terhadap 19 calon pimpinan KPK dimulai, Senin (24/8). Di hari perdana, terdapat tujuh calon yang mendapat giliran diwawancarai sembilan punggawa Panitia Seleksi (Pansel). Mereka adalah Basaria Panjaitan, Alexander Marwata, Ade Maman Suherman, Agus Rahardjo, Budi Santoso, Chesna dan Firmansyah Satya.

Mencermati pelaksanaan tes wawancara hari pertama, Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi mengapresiasi langkah Pansel yang menyelenggarakan wawancara calon secara terbuka. Menurut Koalisi, hal ini merupakan langkah maju dibanding Pansel sebelumnya karena semakin meningkatkan transparansi dan partisipasi publik.

“Namun demikian, dirasakan bahwa Pansel belum cukup memanfaatkan wawancara tersebut untuk memenuhi hak-hak publik untuk tahu pandangan calon terkait isu-isu kritis yag dihadapi KPK, maupun track record calon yang diuji,” tulis Koalisi dalam siaran pers.

Berdasarkan pemantauan langsung, Koalisi pun memberikan beberapa catatan. Pertama, menurut Koalisi, atmosfir wawancara banyak didominasi oleh suasana dengar pendapat daripada pengujian. Yakni, Pansel bertanya dan calon menjawab. Untuk beberapa isu kritis semestinya perlu pertanyaan penajaman setelah ada jawaban permulaan dr calon. Kedua, Koalisi melihat adanya perbedaan perlakuan antara satu calon dengan yang lainnya.

“Pansel bertanya tentang harta kekayaan pada seorang capim, namun tidak menanyakan pada calon lain. Kepada Agus Raharjo, Pansel mencecar terkait asal usul harta kekayaannya. Sementara tidak demikian kepada Basaria Panjaitan. Pansel bahkan luput menanyakan LHKPN Basaria Panjaitan,” sebut Koalisi membandingkan.

Ketiga, Koalisi menilai Pansel mempertanyakan sesuatu semestinya sudah selesai pada tahap sebelumnya. Seperti Pansel mengangkat pertanyaan yang terkesan normatif ke calon (UU KPK), atau mengapa seorang calon yang latar belakang akademisnya tidak berhubungan dengan antikorupsi bisa sampai pada tahap wawancara.

“Semestinya Pansel perlu langsung pada klarifikasi informasi terkait persoalan intergritas dan independensi calon, maupun pendalaman terhadap visi dan solusi mereka tentang pemberantasan korupsi di Indonesia.”

Dalam siaran pers, Koalisi merekomendasikan agar Pansel menjaga ketajaman pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dengan fokus untuk mendalami pemikiran calon dan mengklarifikasi informasi hasil tracking yang mencurigakan. Koalisi juga berharap Pansel meningkatkan konsistensi pertanyaan dan perlakuan di antara para calon yang diuji dengan menyiapkan secara lebih presisi fokus area pertanyaan yang seragam. Dengan demikian akan terungkap calon mana yang bagus dan yang mana yang tidak.

“Menjadikan catatan tracking dan sikap kritis koalisi masyarakat sipil terhadap proses seleksi yang dilaksanakan oleh Pansel saat ini sebagai bagian dari mekanisme kontrol publik untuk menghasilkan pimpinan KPK yang tepat bagi agenda pemberantasan korupsi 4 tahun ke depan.”

Sementara itu, dalam sesi wawancara, calon pimpinan KPK, Basaria Panjaitan menyoroti perseteruan yang terjadi antara KPK dan Polri. Menurut Basaria, keributan yang terjadi antara KPK dan Polri terjadi karena UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), belum terlaksana dengan benar.

Merujuk pada UU KPK, maka seharusnya salah satu fungsi Lembaga Antirasuah itu adalah memajukan dua institusi penegak hukum lainnya, yakni Kejaksaan dan Kepolisian. Dalam hal ini, menurut Basaria, posisi KPK cukup menjadi trigger mechanism (pelecut) bagi Kejaksaan dan Kepolisian.

Ditambahkan Basaria, KPK, Kejaksaan dan Kepolisian seharusnya bersinergi. Hal tersebut, lanjut Basaria, dapat terwujud jika masing-masing lembaga memiliki persepsi yang sama serta saling memahami kewenangan masing-masing.

“Kalau semua aturan yang ada di UU 30/2002 dilaksanakan dengan benar-benar tidak perlu ada keributan antara Polisi dan KPK. Kalau semua persepsi sama, masing-masing kewenangannya, masing-masing menjaga walaupun dikatakan sinergi ini mudah dikatakan tapi sulit dilaksanakan,” ujarnya.

Di luar perseteruan lembaga, Basaria juga menyoroti pelaksanaan kewenangan supervisi yang dimiliki KPK. Sesuai UU Nomor 30 Tahun 2002, kata Basaria, KPK memang berwenang mengambil alih sebuah perkara korupsi yang penanganannya mandek di Kejaksaan atau Kepolisian.

Namun, menurut dia, pengambilalihan itu seyogyanya tidak dilakukan serta merta. Pengambilalihan, kata Basaria, seharusnya didahului dengan mekanisme gelar perkara bersama. Dalam sinergi, lanjutnya, pimpinan dari masing-masing institusi itu seharusnya melakukan koordinasi dalam rangka mencari solusi atas ‘mandeknya’ penanganan perkara tersebut.

“Apa sih kendalanya sehingga tidak selesai, ini dibicarakan kepada pimpinan, dalam hal ini KPK bisa ambil alih. Nah ini boleh take over dari Kepolisian atau Kejaksaan,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait