Koalisi Minta Pihak Independen Dilibatkan dalam Tim Kajian UU ITE
Berita

Koalisi Minta Pihak Independen Dilibatkan dalam Tim Kajian UU ITE

Tanpa pihak independen di luar pemerintah, dikhawatirkan hasil kajian akan melanggengkan keberadaan pasal-pasal karet dalam UU ITE, sehingga tidak sesuai harapan masyarakat.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi risiko hukum UU ITE. BAS
Ilustrasi risiko hukum UU ITE. BAS

Pemerintah telah membentuk Tim Kajian UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan UU No.19 tahun 2016 (UU ITE). Namun sayangnya, komposisi keanggotaan Tim Kajian tak melibatkan unsur independen di luar pemerintah yang juga memahami persoalan penerapan UU ITE. Karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil pesimis hasil kajian Tim dapat memenuhi harapan masyarakat.  

“Koalisi Masyarakat Sipil menilai pemilihan Tim Kajian UU ITE ini tidak akan membuahkan hasil, seperti yang didambakan masyarakat,” ujar anggota Koalisi Masyarakat Sipil dari YLBHI, Muhammad Isnur melalui keterangannya kepada Hukumonline, Rabu (24/2/2021). Koalisi Masyarakat Sipil ini terdiri dari LBH Pers, SAFEnet, YLBHI, ICJR, IJRS, ELSAM, LBH Jakarta, ICW, LeIP, AJI Indonesia, dan lain-lain. (Baca Juga: Pemerintah: Kepastian Revisi UU ITE Bergantung Hasil Tim Kajian)

Koalisi Masyarakat Sipil mengkritisi pembentukan Tim Kajian UU ITE yang isinya didominasi kalangan pemerintah. Karena itu, Koalisi memberi sejumlah catatan terhadap pembentukan Tim Kajian bentukan Menkopolhukam Mahfud MD ini. Pertama, ketiadaan keterlibatan pihak independen memahami implikasi penerapan UU ITE terhadap pelanggaran hak-hak asasi warga.

Sebut saja, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang kerap menerima aduan terkait pelaporan terhadap pembela HAM yang dijerat dengan pasal-pasal karet UU ITE. Begitupula Komnas Perempuan yang juga kerap menerima aduan terkait laporan korban kekerasan gender. Tapi justru dilaporkan dengan Pasal 27 ayat (1) dan (3) UU ITE saat memperjuangan haknya sebagai korban. Sejumlah pasal karet dalam UU ITE acapkali digunakan orang yang memiliki kuasa, seperti penguasa ataupun aparat.

“Hampir dapat dipastikan pemillihan Tim Kajian UU ITE tanpa melibatkan unsur pihak independen dikhawatirkan akan melanggengkan pasal-pasal karet dalam UU ITE,” ujarnya.

Ketua Divisi Advokasi YLBHI ini menilai Tim Kajian UU ITE dengan komposisi yang ada diperkirakan bakal berat sebelah dalam melakukan kajian. Terutama menitikberatkan pada aspek legalistik formal dan mengabaikan/menutupi adanya situasi ketidakadilan yang selama ini timbul akibat diberlakukannya pasal-pasal karet dalam UU ITE itu.

Kedua, Koalisi menilai Tim Kajian UU ITE dipimpin oleh orang yang selama ini dinilai berpotensi menghambat upaya revisi UU ITE. Bahkan, dinilai tak memiliki komitmen memperbaiki iklim demokrasi yang sumber masalahnya berasal dari pasal-pasal karet UU ITE itu. Tak dipungkiri, sejumlah pasal karet dalam UU ITE faktanya bermasalah dalam penerapannya oleh aparat penegak hukum.

Bahkan telah memidanakan banyak kalangan jurnalis, aktivis, pembela HAM, akademisi, dan warga negara lain saat menyampaikan berekspresi menyampaikan pendapat dengan mengedepankan fakta dan bermartabat. Ironisnya, malah tetap diproses hukum hingga mendekam di balik jeruji besi sebagaimana laporan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet).

Menurut Koalisi, penunjukan komposisi Tim Kajian UU ITE yang dinilai bermasalah itu menunjukan ketidakseriusan pemerintah dalam menjalankan permintaan Presiden Jokowi terkait adanya potensi ketidakadilan dalam penerapan UU ITE, sehingga perlu revisi UU ITE bersama DPR. “Mendorong Tim Kajian ini untuk melibatkan secara aktif para akademisi, korban, perempuan korban, aktivis, pembela HAM, dan kelompok media dalam kajian pasal-pasal UU ITE,” pintanya.

Direktur Eksekutif LBH Konsumen Jakarta, Zentoni mengamini pandangan Isnur. Menurutnya, pengkajian UU ITE oleh Tim Kajian perlu melibatkan sejumlah pihak independen. Sebab, UU ITE pun menyasar para konsumen. Itu sebabnya perlu adanya keterlibatan pihak independen di luar pemerintah. Seperti, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Komunitas Konsumen Indonesia (KKI).

“UU ITE yang berlaku saat ini tidak membawa keadilan bagi konsumen Indonesia. Karena itu, UU ITE seharusnya direvisi lantaran merugikan banyak orang. Bahkan, berpotensi disalahgunakan untuk membungkam suara-suara kritis konsumen Indonesia,” kata Zentoni.

Dia mengingatkan Pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan sejumlah hak-hak konsumen. Antara lain hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. Ketika hak-hak tersebut digunakan oleh konsumen justru banyak berujung laporan ke aparat penegak hukum.

Sebelumnya, Menkopolhukam M. Mahfud MD mengatakan Pembentukan Tim Kajian UU ITE ini berdasarkan Keputusan Menkopolhukam No.22 Tahun 2021 tentang Tim Kajian UU ITE yang anggotanya dari beberapa kementerian dan lembaga. Tim Kajian diberi waktu selama tiga bulan hingga 22 Mei 2021 untuk mengkaji UU ITE ini. Hasilnya, bakal menjadi rujukan bagi pemerintah untuk memutuskan apakah UU ITE perlu direvisi.  

Tim Kajian terdiri dari tiga kementerian dan lembaga terkait, seperti Kemenkopolhukam, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Mahfud menjelaskan, pembentukan Tim Kajian merupakan tindak lanjut arahan Presiden Joko Widodo kepada Kapolri yang meminta laporan-laporan masyarakat atas dugaan pelanggaran UU ITE dilakukan secara hati-hati dan selektif.

Berdasarkan Keputusan Menkopolhukam 22/2021 ini, Menkopolhukam Mahfud MD, Menkumham Yasonna H Laoly, Menkominfo Jhonny G Plate, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit bertindak sebagai Pengarah Tim Kajian UU ITE. Sementara tim pelaksana kajian UU ITE dipimpin Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan HAM Kemenkopolhukam, Sugeng Purnomo.

Tim pelaksana dibagi menjadi dua yakni Sub Tim I sebagai Perumus Kriteria Penerapan UU ITE diketuai oleh Staf Ahli bidang Hukum Kominfo, Prof Henri Subiakto. Sub Tim I bertugas merumuskan kriteria implementatif atas pasal-pasal dalam UU ITE yang kerap dinilai multitafsir atau karet. Sedangkan Sub Tim II dipimpin Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham, Prof Widodo Ekatjahjana. Sub Tim II bertugas menelaah beberapa pasal dalam UU ITE yang dianggap multitafsir dan menentukan apakah perlu revisi atau tidak.

Tags:

Berita Terkait