Kode Etik Bersama LSM: Kebutuhan atau Kegenitan?
Kolom

Kode Etik Bersama LSM: Kebutuhan atau Kegenitan?

Penggiat LSM dianggap perlu merumuskan kode etik bersama untuk menjaga kualitas dan kinerja kerja mereka. Pendapat tersebut berasal dari Rustam Ibrahim, pimpinan tim riset Program Perumusan dan Penyusunan Kode Etik LSM LP3S, dalam seminar dengan tema "Membangun LSM yang Kuat dan Sehat, Demokratis, Transparan dan Akuntabel: Perspektif Multipihak" yang diadakan di Jakarta beberapa waktu lalu.

Bacaan 2 Menit

Untuk advokat misalnya, seorang advokat harus menggabungkan diri atau memfasilitasi advokat lain yang dianggap lebih pandai untuk kasus yang ia tangani apabila advokat pertama tidak mampu memenuhi permintaan kliennya. Hal ini diatur dalam Kode Etik Advokat AS yang melarang advokat menyebutkan dirinya sebagai spesialis (Koehn:1997).

Kode etik sebagai autonomic legislation

Dalam pidato pengukuhan guru besarnya, Prof. Valerine J.L Kriekhoff  menyinggung mengenai pentingnya aturan internal suatu komunitas (autonomic legislation) sebagai alternatif sumber hukum formal dalam penelitian hukum (Kriekhoff: tanpa penerbit, 1997). Contoh yang diungkapkan Kriekhoff adalah serikat-serikat pekerja yang mengatur dan menentukan hak dan kewajiban anggotanya.  Atau organisasi profesi yang semakin beragam dan menciptakan hukum yang bersifat otonom dalam bentuk kode etik.

Autonomic legislation dianggap penting karena penciptaan hukum internal untuk suatu komunitas sebagaimana disebutkan diatas merupakan suatu tuntutan. Mengapa demikian?  Menurut Moore (Kriekhoff:1997), adalah ketidakmampuan negara modern untuk memfasilitasi pembuatan peraturan untuk semua kalangan, sebagai konsekuensi negara modern khususnya dalam hal pembagian kekuasaan, sehingga autonomic legislation  dipandang sebagai tuntutan.

Secara umum, kode etik ditegakkan oleh dewan yang dibentuk oleh komunitas profesi yang dipilih berdasarkan penguasaan ilmu, integritas dan, kadang-kadang, senioritas para anggotanya. Pola seperti ini yang dilakukan oleh para advokat dan dokter Indonesia (PSHK: 2001).

Apabila dikembalikan pada posisi LSM, yang menjadi masalah adalah heterogenitas komunitas LSM. Relatif tidak sulit bagi komunitas yang homogen seperti dokter, advokat, atau wartawan untuk melakukan penilaian atau judgment atas perilaku menyimpang dari anggota komunitasnya.  Bandingkan dengan LSM yang memiliki ruang aktivitas yang hampir sama dengan jenis pekerjaan yang ada di dunia. Bisa dipastikan, masing-masing ruang publik memiliki sekelompok orang terorganisasi rapi yang melakukan pengawasan, pendampingan, pengkajian kebijakan, dan peninjauan peraturan atas suatu obyek.

Kemudian apabila dikaitkan dengan penegakan kode etik, metode pemberian sanksi sebagai alat kontrol perilaku akan menjadi sulit karena diperlukan dewan etik sebagai pelaksana. Mengapa sulit? Kembali ke faktor heteregonitas LSM itu sendiri, bagaimana seorang pekerja LSM bisa menilai perilaku rekannya apabila ruang lingkup aktivitas mereka sendiri jauh berbeda?

Asumsi saya, mengapa kode etik yang dipilih sebagai solusi praktek menyimpang kalangan LSM adalah pertama, timbulnya anggapan kalangan LSM identik dengan 'profesional', sehingga mereka dianggap perlu diatur melalui kode etik. Kedua, keberadaan kode etik akan memperkuat kontrol diri yang lebih kuat ketimbang pengaturan melalui undang-undang. Apalagi ada kecurigaan apabila LSM aktivitasnya diatur oleh undang-undang, peluang intervensi negara terhadap LSM menjadi besar.

Tags: