Kode Etik Bersama LSM: Kebutuhan atau Kegenitan?
Kolom

Kode Etik Bersama LSM: Kebutuhan atau Kegenitan?

Penggiat LSM dianggap perlu merumuskan kode etik bersama untuk menjaga kualitas dan kinerja kerja mereka. Pendapat tersebut berasal dari Rustam Ibrahim, pimpinan tim riset Program Perumusan dan Penyusunan Kode Etik LSM LP3S, dalam seminar dengan tema "Membangun LSM yang Kuat dan Sehat, Demokratis, Transparan dan Akuntabel: Perspektif Multipihak" yang diadakan di Jakarta beberapa waktu lalu.

Bacaan 2 Menit

Apabila kita membandingkan pemberlakuan kode etik di beberapa komunitas profesi di Indonesia, hampir tidak ada yang bisa dijadikan role model yang cukup baik sebagai contoh apabila hal yang sama akan diterapkan untuk komunitas LSM. Kode etik advokat masih berkutat pemberlakuannya dengan rencana pengundangan RUU Advokat. Kode Etik Kedokteran hasil putusannya cenderung eksklusif dan cenderung mengabaikan kewajiban pengumuman putusan pada masyarakat. Sedangkan Kode Etik Jurnalistik, meski relatif lebih baik kontrolnya, masih belum bisa menjawab beberapa tuntutan mengenai media porno misalnya.

Alternatif pengaturan praktek LSM

Kemudian untuk menjawab pertanyaan berikutnya mengenai alternatif pengawasan praktek LSM, pada hemat saya, sedikit banyak karena adanya faktor stereotyping mengenai aktivitas LSM itu sendiri. Terkadang, ada romantisasi yang berlebih pada pekerja LSM. Antara lain, pekerja LSM honorariumnya cenderung rendah malah cenderung tidak ada duitnya karena bekerja semata-mata demi idealisme. Paradigma semacam ini jadi penting untuk diubah karena pelekatan stereotip tersebut akan berakibat kontraproduktif bagi aktivitas LSM itu sendiri.

Kontraproduktivitas yang saya maksud adalah idealisasi yang berlebih cenderung mengaburkan pentingnya kontrol eksternal terhadap praktek LSM itu sendiri. Apabila kita semua sepakat bahwa aktivitas LSM adalah ruang yang tidak vakum dari intervensi modal, kekuasaan dan korupsi, maka aturan mengenai praktek LSM seharusnya tidak masalah.

Yang harus jadi perhatian adalah materi aturan tersebut dan bagaimana kontrol serta partisipasi terhadap proses dan pelaksanaannya. Hal ini penting mengingat pelajaran proses dan pengesahan UU Yayasan yang sedikit banyak luput dari pengawasan kalangan LSM (www.hukumonline.com., 16 Oktober 2000). Hal ini menjadikan pengaturan apapun yang kelak akan dibuat, penekannya harus pada pengembangan LSM, bukan materi yang semata-mata bersifat mengatur.

Apabila kita belajar dari pengalaman negara lain seperti Filipina dan Thailand (Asia Pacific Philanthropy Consortium: Fristi Utama, 1999), pendekatan pengembangan-lah yang cenderung dikedepankan ketimbang pengaturan LSM oleh negara.

Sebagai alternatif, pendekatan serupa bisa dilakukan oleh Indonesia ketimbang mengupayakan kode etik bersama LSM. Meski terdengar positivistik, adanya dasar hukum dengan orientasi pengembangan, akan mempermudah pekerja LSM untuk meningkatkan integritas diri dan institusinya. Ketimbang, kode etik yang selain pengalamannya secara lokal buruk, juga masih rancu siapa institusi pelaksana pengawasannya.

Sementara ini, apabila ada dugaan kecurigaan penyimpangan praktek LSM, bisa ditempuh jalur yang dilakukan Farid Faqih, Koordinator Gowa, dengan mengadukan pihak yang dicurigai kepada polisi. Meski pilihan ini bukan yang terbaik, ketimbang menuduh kanan-kiri,  kecurigaan pada aktivitas LSM sebaiknya dituntaskan sekalian di hadapan polisi. Diharapkan dengan adanya contoh demikian, kalangan LSM yang hendak coba-coba bisa belajar dari pengalaman rekan mereka.

 

Gita Putri Damayana adalah peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)

Tags: