Komnas Perempuan Kawal Perubahan KUHP Terkait Kejahatan Kesusilaan
Berita

Komnas Perempuan Kawal Perubahan KUHP Terkait Kejahatan Kesusilaan

Komnas Perempuan meminta pemerintah dan DPR memperhatikan empat hal mendasar dalam menetapkan kebijakan hukum pidana terkait kriminalisasi kejahatan kesusilaan.

Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Pasal perzinaan dalam KUHP perlu direvisi. Foto: RES
Pasal perzinaan dalam KUHP perlu direvisi. Foto: RES

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) akan mengawal perubahan KUHP terutama tentang kejahatan terhadap kesusilaan (perzinaan, pemerkosaan, pencabulan).

 

"Pembahasan buku II perubahan KUHP agar mengacu kepada kaidah-kaidah hukum yang telah dirumuskan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam pertimbangan hukum perkara nomor 46/PUU-XIV/2016," kata Ketua Komnas Perempuan Azriana di Jakarta, Jumat (15/12/2017).

 

Seperti diketahui, saat ini, Rancangan Perubahan KUHP sedang disusun oleh pemerintah dan DPR termasuk menyangkut pasal-pasal terkait putusan MK Nomor 46/PUU-XIV/2016 itu. Baca Juga: F-PKS Kecewa MK Tolak Perluasan Pasal Perzinaan

 

Komnas Perempuan mengingatkan pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang (UU) agar perubahan pasal-pasal yang terkait dengan Putusan MK itu dapat mengikuti kaidah-kaidah hukum yang telah disarankan MK.

 

Utamanya, pemerintah dan DPR penting memperhatikan empat hal mendasar dalam menetapkan kebijakan hukum pidana terkait kriminalisasi. Yakni, apakah perbuatan itu tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat karena merugikan atau dapat merugikan dan mendatangkan korban; apakah biaya kriminalisasi seimbang dengan hasil yang akan dicapai.

 

Selanjutnya, apakah akan menambah beban berat aparat penegak hukum, yang tidak seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimilikinya; dan apakah perbuatan tersebut menghambat cita-cita bangsa Indonesia dan bahaya bagi keseluruhan hidup masyarakat.

 

"Artinya biaya pembuatan undang-undang, pengawasan, dan penegakan hukum, serta beban yang dipikul oleh korban dan pelaku kejahatan sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai," saran dia.

 

Karena itu, dalam pandangan Komnas Perempuan, MK telah memainkan perannya dalam memberi komitmen tanggung jawab perlindungan bagi jaminan hak konstitusional warga negara dan seyogyanya hal tersebut juga menjadi komitmen para penyelenggara negara.

 

Sebelumnya, Kamis (14/12) kemarin, MK menolak permohonan uji materi Pasal 284 KUHP (perzinaan), Pasal 285 KUHP (pemerkosaan), dan Pasal 292 KUHP (pencabulan sesama jenis) yang dimohonkan Guru Besar IPB Euis Sunarti Dkk. Intinya, MK beralasan pengujian permohonan Guru Besar IPB Euis Sunarti dkk ini masuk wilayah kewenangan pembentuk undang-undang (UU).

 

Baca Juga: Dalih Wewenang Pembentuk UU, MK Tolak Perluasan Pasal Perzinaan

 

Dalam petitum permohonannya, para pemohon meminta MK memperluas makna larangan perzinaan, pemerkosaan, dan homoseksual (hubungan sesama jenis) agar sesuai jiwa Pancasila, konsep HAM, nilai agama yang terkandung dalam UUD 1945. Misalnya, memperluas makna perzinaan yang tak hanya terbatas salah satu pasangan atau keduanya terikat perkawinan (27 BW), tetapi termasuk hubungan badan bagi pasangan yang tidak terikat pernikahan (free sex).  Sebab, secara a contrario Pasal 284 KUHP bermakna persetubuhan suka sama suka di luar perkawinan bukan tindak pidana (praktik prostitusi).

 

Berlakunya frasa “perempuan yang bukan istrinya” dalam Pasal 285 KUHP pun seharusnya dimaknai menjadi “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa…”. Artinya, korban perkosaan tak hanya wanita, tetapi faktanya bisa terjadi terhadap laki-laki termasuk perkosaan terhadap sesama jenis yang bisa dipidana.

 

Selain itu, frasa “yang belum dewasa” dan frasa “sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya hal belum dewasa” dalam Pasal 292 KUHP menunjukkan negara hanya memberi kepastian perlindungan hukum terhadap korban yang diketahuinya yang diduga belum dewasa atau tidak memberi perlindungan terhadap korban yang telah dewasa. Artinya, setiap jenis perbuatan cabul “sesama jenis” baik dewasa ataupun belum dewasa seharusnya dapat dipidana (lesbian, gay, biseksual, dan transgender atau LGBT). (ANT)

Tags:

Berita Terkait