Konflik Laut China Selatan Perlu Penanganan Bersama
Utama

Konflik Laut China Selatan Perlu Penanganan Bersama

Indonesia disarankan memperkuat Bakamla dan berkonsolidasi untuk perdamaian dengan negara yang terlibat konflik di laut China Selatan termasuk melalui ASEAN. Tapi, tidak terjebak sentimen anti China.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Sejumlah narasumber webinar Hukumonline International Law Series bertajuk 'Perkuat Kedaulatan Indonesia di Laut China Selatan: Tantangan Geopolitik dan Ekonomi', Selasa (19/10/2021).  Foto: RES
Sejumlah narasumber webinar Hukumonline International Law Series bertajuk 'Perkuat Kedaulatan Indonesia di Laut China Selatan: Tantangan Geopolitik dan Ekonomi', Selasa (19/10/2021). Foto: RES

Sengketa atau konflik wilayah perairan di laut China Selatan yang melibatkan beberapa negara seperti China, Taiwan, Vietnam, Thailand, Singapura, Malaysia, dan Filipina terus mendapat sorotan masyarakat internasional termasuk Indonesia. Meskipun Indonesia mengklaim tidak memiliki kepentingan terkait klaim China atas wilayah perairan itu.

Tapi, sejumlah negara tetangga dan Amerika Serikat membantah klaim itu dan menilai China tidak memiliki dasar hukum internasional, termasuk Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982, yang juga ikut ditandatangani China. Selain itu, Pengadilan Tetap Arbitrase pada 2016 telah memutuskan tidak sah klaim China atas 9 Dash Line di Laut China Selatan.

Wakil Ketua MPR dan Anggota Komisi I DPR, Sjarifuddin Hasan, mengatakan Pemerintah Indonesia mengklaim tidak memiliki kepentingan dalam sengketa di laut China Selatan itu. Meski begitu, dia menilai Pemerintah harus memberi perhatian terhadap konflik ini terutama adanya klaim China tentang 9 garis batas (9 dash line, red) di perairan laut China Selatan.

Sjarifuddin menilai China mengklaim 9 garis batas itu hanya berdasarkan sejarah. Padahal China sudah menandatangani Konvensi PBB tentang Hukum Laut, United Nations Convention on The Law of the Sea (UNCLOS 1982). Sjarifuddin meminta Menteri Luar Negeri untuk mendesak China agar mengakui UNCLOS yang ditetapkan PBB dan menghapus 9 garis batas itu.

Dia menilai Pemerintah telah mengantisipasi keamanan di wilayah yang berbatasan dengan laut China Selatan, salah satunya dengan menerbitkan UU No.32 Tahun 2014 tentang Kelautan dan Perpres No.178 Tahun 2014 tentang Badan Keamanan Laut (Bakamla).

Bakamla bertugas menjaga keamanan dan keselamatan di perairan Indonesia. Tapi sayangnya peran penting Bakamla itu belum didukung anggaran yang memadai. Tercatat tahun 2020, anggaran Bakamla hanya Rp425 miliar dan tahun 2021 Rp500 miliar.

“Tugas dan fungsi Bakamla perlu diperkuat dan ditingkatkan,” kata Sjarifuddin dalam Hukumonline International Law Series bertajuk “Perkuat Kedaulatan Indonesia di Laut China Selatan: Tantangan Geopolitik dan Ekonomi”, Selasa (19/10/2021). (Baca Juga: Ini yang Perlu Dilakukan Pemerintah Terkait Putusan Laut Cina Selatan)

Menurut Sjarifuddin, peran Bakamla dalam menjaga perairan Indonesia terutama yang berbatasan dengan laut China Selatan semakin penting karena China telah menerbitkan UU Coast Guard pada Januari 2021. Beleid ini yang memberi kewenangan pasukan penjaga wilayah lautnya dapat menembak kapal asing yang melanggar kedaulatan China. Jika Bakamla tidak mendapat anggaran yang memadai, maka sulit untuk menandingi kekuatan Coast Guard China.

Selain itu, Sjarifuddin mengusulkan Pemerintah untuk menghadapi potensi ancaman dengan berkonsolidasi dengan negara yang terlibat sengketa di laut China Selatan termasuk melalui ASEAN. “Indonesia menjalankan strategi ini sesuai amanah konstitusi yakni mewujudkan perdamaian dunia,” harapnya.

Hukumonline.com

Punya alasan kuat

Duta Besar RI untuk Jerman, Arif Havas Oegroseno, mengatakan setiap negara yang terlibat dalam sengketa di laut China Selatan memiliki argumen masing-masing untuk mempertahankan klaimnya. Indonesia dalam posisi tidak ada masalah klaim kedaulatan di laut China Selatan. “Sengketa ini terkait klaim kedaulatan, rebutan pulau, karang, batu, dan pasir,” ujarnya.

Pengamat Militer dan Pertahanan Keamanan, Connie Rahakundini Bakrie, menilai Indonesia punya keunggulan, antara lain berbasis hukum internasional atas konvensi UNCLOS 1982, kesadaran wilayah terdepan, dan visi poros maritim dunia Presiden Jokowi sejak 2014. Tapi kelemahannya antara lain anggaran yang terbatas dan alutsista yang sudah tua. Ada juga pekerjaan rumah (PR) membenahi badan negara dalam pengelolaan wilayah laut nasional.

Connie melihat China punya alasan kuat untuk mengklaim 9 garis batas itu, begitu juga dengan Taiwan. China juga melihat praktik yang dilakukan sejumlah negara seperti Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat yang memiliki pulau-pulau yang lokasinya jauh (Annexed Fareaway Island) dengan wilayah negaranya. Terpenting, saran dia, Indonesia jangan terjebak dengan sentimen anti China, tapi wilayah laut China Selatan itu sangat penting untuk ditangani secara bersama.

“Kita harus mengedepankan kolaborasi. Kawasan ini memiliki sejarah panjang yang dimiliki bersama,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.

Ketimbang saling klaim, Connie berharap agar diupayakan memberikan rasa persaudaraan, kesatuan sejarah, dan perdamaian. Dia merekomendasikan terbangunnya kerja sama dan persahabatan antara ASEAN dan China untuk menghasilkan kebijakan, seperti meminimalisir konflik; mengelola bersama sumber daya alam kawasan; mengurangi persaingan negatif; dan mengakhiri bentrokan dan potensi perang.

Adviser Humanitarian Dialogue, Alex Douglas, menilai Indonesia punya peran penting untuk meredakan potensi konflik di laut China Selatan. Hal utama yang perlu dilakukan negara-negara yang terlibat sengketa itu adalah mengurangi krisis dan bencana lingkungan. Penting juga untuk membangun prosedur dan komunikasi bersama antar negara di setiap tingkat otoritas yang berwenang. Misalnya komunikasi antara kapal nelayan, coast guard, dan antar lembaga pemerintahan.

“Laut China Selatan tidak hanya berpotensi sengketa antar negara, tapi juga rawan bencana ekologis. Jumlah ikan disana turun drastis sampai 85 persen sejak 1950,” kata Alex.

Menurut Alex, jumlah ikan yang menurun drastis di laut China Selatan akan mendorong nelayan lebih jauh lagi berlayar untuk mencari ikan. Hal itu membuka peluang lebih besar untuk berpapasan dengan Coast Guard dari negara lain, sehingga berpotensi menimbulkan krisis (konflik).

Hukumonline.com

Tags:

Berita Terkait