Konservasi dan Penyediaan Energi: Pertaruhan Kepentingan di Abad 21
Kolom

Konservasi dan Penyediaan Energi: Pertaruhan Kepentingan di Abad 21

Peringatan Hari Keanekaragaman Hayati sedunia-pun seharusnya dapat menjadi momentum bagi Pemerintah Indonesia untuk mengevaluasi keseimbangan antara kebutuhan pembangunan dengan perlindungan keanekaragaman hayati.

 

Belum Siapnya Regulasi Konservasi

Di samping kesungguhan dalam penyusunan AMDAL, permasalahan utama yang mengganjal justru datang dari ketidaksiapan instrumen regulasi Indonesia sendiri. Secara umum, Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU SDAHE) mengatur pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya melalui dua kegiatan, yaitu pemanfaatan kondisi lingkungan Kawasan Pelestarian Alam, yang merupakan bagian dari Kawasan konservasi, dan pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar.

 

Kriteria pemanfaatan yang digunakan adalah (1) wilayah pemanfaatan ada di Kawasan Pelestarian Alam, (2) dilakukan dengan tetap menjaga fungsi kawasan, (3) memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar. Aturan lebih lanjut mengenai “rambu-rambu” yang harus dilakukan dalam pemanfaatan untuk energi terbarukan juga telah dirincikan dalam aturan turunannya seperti larangan untuk memotong jalur satwa atau jalur masyarakat tradisional.

 

Sayangnya, hingga saat ini tidak ada pembahasan lebih jauh mengenai sejauh mana (dan seberapa banyak) suatu kawasan dapat dibuka untuk pemanfaatan energi terbarukan. Bagaimana jika pembangunan PLTA dan PLTP berada di kawasan yang memiliki nilai konservasi tinggi namun kawasan tersebut berada di luar kawasan konservasi? UU SDAHE-pun absen mengenai perlindungan kawasan yang memiliki nilai konservasi tinggi dari aktivitas pembangunan skala besar seperti PLTA dan PLTP.

 

Pemilihan Rencana Lokasi Pembangunan Pembangkit Perlu Diperhatikan

Di sisi perencanaan ketenagalistrikan, salah satu cara untuk menjawab tantangan ini adalah meminimalisir pemilihan rencana lokasi pembangkit di daerah yang rawan konflik dengan perlindungan keanekaragaman hayati tersebut. Sayangnya, hingga saat ini, tidak ada panduan jelas dalam panduan pemilihan lokasi tersebut.

 

Dalam RUPTL PLN 2019-2028, memang dijelaskan bahwa pemilihan lokasi pembangkit dilakukan dengan mempertimbangkan ketersediaan sumber energi primer setempat, kedekatan dengan pusat beban, prinsip regional balance, topologi jaringan transmisi dan kendalanya, serta kendala teknis, lingkungan dan sosial.

 

Namun, untuk kendala teknis, lingkungan dan sosial tersebut-pun hanya dijelaskan sebagai kondisi tanah, bathymetry, hutan lindung dan pemukiman. Tidak jelas sejauh mana faktor-faktor ini benar-benar dipertimbangkan dalam pemilihan lokasi pembangkit tersebut. Pun, isu strategis seperti kaitannya dengan perlindungan keanekaragaman hayati juga tidak dijelaskan.

 

Pada akhirnya, koordinasi antara PLN, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan-pun perlu dilakukan sejak tahap perencanaan penyusunan proyek ketenagalistrikan tersebut. Perlu adanya kesadaran dari seluruh pemangku kepentingan bahwa dalam peraturan induknya, UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, asas kelestarian fungsi lingkungan merupakan asas dasar yang patut dijunjung dalam penyelenggaraan penyediaan tenaga listrik. Jika asas ini sudah dipegang teguh, apakah masih kita menganggap konservasi dan energi adalah pertaruhan besar abad ini?

Tags:

Berita Terkait