Kontra Produktif di Balik Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan
Utama

Kontra Produktif di Balik Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

Kebijakan ini menuai kritik dari berbagai pihak.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Layanan BPJS Kesehatan di salah satu rumah sakit. Foto: RES
Layanan BPJS Kesehatan di salah satu rumah sakit. Foto: RES

Iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan resmi mengalami kenaikan setelah Presiden Jokowi meneken Perpres No.75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan. Dalam beleid tersebut, iuran BPJS Kesehatan dipastikan naik sebesar 100 persen untuk semua kelas dan mulai berlaku pada Januari 2020 mendatang.

 

Kebijakan ini kemudian menjadi perhatian bagi Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Menurut Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, jika dilihat dari sisi finansial, kenaikan tersebut bisa menjadi solusi atas defisit finansial BPJS Kesehatan. Namun jika dilihat dari aspek yang lebih luas, kebijakan ini bisa memicu hal yang kontra produktif bagi BPJS Kesehatan itu sendiri.

 

Tulus menyebut setidaknya ada dua hal yang bisa memicu fenomena kontra produktif.  Pertama, akan memicu gerakan turun kelas dari para anggota BPJS Kesehatan, misalnya dari kelas satu turun ke kelas dua, dan seterusnya. Kedua, akan memicu tunggakan yang lebih masif, khususnya dari golongan mandiri, yang saat ini tunggakannya mencapai 46 persen. Jika kedua fenomena itu menguat, maka bisa menggegoroti finansial BPJS Kesehatan secara keseluruhan.

 

Seharusnya, sebelum menaikkan iuran BPJS Kesehatan, pemerintah dan managemen BPJS Kesehatan melakukan langkah langkah strategis. Seperti melakukan cleansing data golongan PBI. Sebab banyak peserta PBI yang salah sasaran; banyak orang mampu yang menjadi anggota PBI.

 

“Di lapangan, banyak anggota PBI yang diikutkan karena dekat dengan pengurus RT/RW setempat. Jika cleansing data dilakukan secara efektif, maka peserta golongan mandiri kelas III langsung bisa dimasukkan menjadi peserta PBI. Dari sisi status sosial ekonomi golongan mandiri kelas III sangat rentan terhadap kebijakan kenaikan iuran,” kata Tulus, Kamis (31/10).

 

(Baca: Kenaikan Tarif BPJS Kesehatan Diharap Jadi Skenario Terakhir)

 

Kemudian, lanjutnya, pemerintah seharusnya mendorong agar semua perusahaan menjadi anggota BPJS Kesehatan, atau melakukan audit perusahaan yang memanipulasi jumlah karyawannya dalam kepesertaan BPJS Kesehatan. Sampai detik ini masih lebih banyak perusahaan yang belum mendaftarkan karyawannya sebagai anggota BPJS Kesehatan dari pada yang sudah menjadi anggota. Dan tak kalah penting lagi pemerintah harus mengalokasikan kenaikan cukai rokok secara langsung untuk BPJS Kesehatan.

 

“Baru saja Menteri Keuangan menaikkan cukai rokok sebesar 25 persen. Kenaikan cukai rokok urgent dialokasikan karena dampak eksternalitas negatif rokok, seharusnya dialokasikan untuk penanggulangan aspek preventif promotif produk yang dikonsumsinya,” tambahnya.

 

Jika ketiga poin itu dilakukan, Tulus meyakini pemeirntah tak perlu melakukan kenaikan iuran BPJS Kesehatan secara ekstrim. Atau setidaknya tidak perlu naik sampai 100 persen.

 

Pasca kenaikan iuran YLKI meminta pemerintah dan managemen BPJS Kesehatan untuk menjamin pelayanan yang lebih prima dan handal. Tidak ada lagi diskriminasi pelayanan terhadap pasien anggota BPJS Kesehatan dan non BPJS Kesehatan, tidak ada lagi faskes rujukan yang menerapkan uang muka untuk pasien opname.

 

YLKI juga mendesak pihak faskes, khususnya faskes rujukan untuk meningkatkan pelayanan, dengan cara melakukan inovasi pelayanan di semua lini, baik layanan di IGD, poli klinik dan instalasi farmasi.

 

Juru Bicara Komunitas Peduli BPJS Kesehatan, Johan Imanuel, menilai bahwa Mengenai kenaikan iuran BPJS Kesehatan secara signifikan merupakan solusi mundur.  Sehingga Perpres 75/2019 berpotensi untuk di uji materiil oleh peserta yang kecewa atas kebijakan tersebut.

 

Johan merujuk kepada UU SJSN maupun UU BPJS. Dalam UU SJSN yang patut diperhatikan oleh Pemerintah terkait kenaikan iuran BPJS Kesehatan adalah Pasal 27 ayat (3). Pasall tersebut menyebutkan bahwa besarnya iuran jaminan kesehatan untuk peserta yang tidak menerima upah ditentukan berdasarkan nominal yang ditinjau secara berkala. Penjelasan pasal tersebut, lanjutnya, adalah jangka waktu tertentu untuk melakukan peninjauan atau perubahan sesuai dengan perkembangan kebutuhan.

 

“Menjadi pertanyaan apakah perkembangan kebutuhan ini terkait dengan kebutuhan peserta tersebut? Apakah tinjauan berkala benar sudah dilakukan? Namun bagaimanakah hasilnya? Bentuk kajiannya seperti apa?” kata Johan.

 

Melihat banyaknya pihak yang menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan, maka dapat disimpulkan jika kenaikan bukan kebutuhan bagi peserta. Bagi Johan, peserta lebih tenang apabila pelayanan kesehatan melalui kepesertaan BPJS Kesehatan ditingkatkan dari sistem pelayanan kesehatan, sistem kendali mutu pelayanan, dan sistem pembayaran pelayanan sebagaiman ditegaskan pada Pasal 24 ayat (3) UU SJSN.

 

Johan juga mengingatkan bahwa pelayanan kesehatan ini merupakan manfaat dari jaminan kesehatan yang ditegaskan dalam Pasal 22 ayat (1) UU SJSN. Kemudian mengenai pelayanan kesehatan yang dimaksud dalam pasal ini meliputi pelayanan dan penyuluhan kesehatan, imunisasi, pelayanan Keluarga Berencana, rawat jalan, rawat inap, pelayanan gawat darurat dan tindakan medis lainnya, termasuk cuci darah dan operasi jantung.

 

Pelayanan tersebut diberikan sesuai dengan pelayanan standar, baik mutu maupun jenis pelayanannya dalam rangka menjamin kesinambungan program dan kepuasan peserta. Luasnya pelayanan kesehatan disesuaikan dengan kebutuhan peserta yang dapat berubah dan kemampuan keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Hal ini diperlukan untuk kehati-hatian.

 

“Sehingga kata kunci dalam Pasal 22 ayat (1) UU SJSN adalah kehati-hatian dalam pelayanan kesehatan sehingga antara penambahan atau pengurangan manfaat bahkan kenaikan iuran dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan tidak merugikan peserta,” tambahnya.

 

Selain itu, kenaikan iuran BPJS Kesehatan dapat dikaji, apakah sudah sesuai dengan asas dan tujuan dari UU BPJS. Adapun asas yang dimaksud adalah asas kemanusiaan, asas manfaat dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU BPJS. Asas kemanusiaan terkait dengan penghargaan terhadap martabat manusia. Asas manfaat terkait dengan operasional dalam pengelolaan yang efektif dan efisien serta asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bersifat idiil.

 

“Sehingga idealnya seharusnya sebelum melakukan kenaikan iuran peserta BPJS Kesehatan, pihak pemerintah seharusnya mempertimbangkan segala masukan dari publik seluas-luasnya khususnya terhadap kenaikan iuran ini agar tidak mengabaikan asas dan tujuan UU BPJS itu sendiri,” pungkasnya.

 

Tags:

Berita Terkait