Kontradiksi Putusan Kedudukan KPK, Begini Pandangan Pakar
Utama

Kontradiksi Putusan Kedudukan KPK, Begini Pandangan Pakar

Perbedaan putusan MK diperbolehkan sepanjang memiliki alasan yang rasional, bukan hanya berdasarkan keyakinan seorang hakim semata.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit

 

Menurut Refly, pasal itu sendiri hingga saat ini tidak pernah dibatalkan atau ada perubahan, sehingga hak angket menurut pasal tersebut yaitu berkaitan dengan kebijakan pemerintah. Dan ini, lanjut Refly, terlihat jelas batasan atau limitasi kepada siapa seharusnya hak angket diajukan yaitu kepada pelaksana undang-undang atau kebijakan yang berada di bawah koordinasi presiden.

 

“Menurut saya MK sendiri tidak memberi kepastian hukum dalam putusannya. Jadi pasal itu tetap eksis. Saya setuju dengan dissenting opinion, kalau kita lihat penjelasan otentik kepada siapa hak angket ditujukan, ya lihatlah penjelasan Pasal 79 UU MD3 itu,” kata dia.

 

KPK sendiri, menurut Refly merupakan lembaga independen yang dalam alam demokrasi modern saat ini tidak hanya bisa menjalankan tugas sebagai lembaga eksekutif, tetapi juga yudikatif. “Para ahli di dunia ini menyebut cabang kekuasaan yang keempat. Jadi meletakkan KPK sebagai eksekutif, menurut saya itu kekeliruan luar biasa yang dibuat MK,” terang Refly.

 

Selanjutnya, mengenai hak angket itu sendiri menurut Refly, hakikatnya adalah pengawasan cabang legislatif ke eksekutif. Dalam sistem parlementer berlaku supremasi parlemen di mana pengawasan bisa merupakan kontrol kepada presiden agar tidak menjadi otoriter. Dan ini bisa berujung pada mosi tidak percaya kepada kepala negara.

 

Dalih konstitusionalitas hak angket DPR kepada KPK ditafsirkan sebagai pengawasan juga tidak sepenuhnya tepat. Sebab, praktiknya selain bertanggung jawab kepada publik, KPK juga bisa diawasi oleh lembaga eksekutif ataupun legislatif. Contohnya, bila memang kinerja dianggap tidak memuaskan, DPR bisa menanyakan pada saat Rapat Dengar Pendapat (RDP). Selain itu, pihak Senayan bisa mengurangi, bahkan menunda pencairan anggaran (KPK) melalui APBN.

 

Harus ada alasan rasional

Sementara itu, mantan hakim MK Harjono berpendapat pembagian tiga cabang eksekutif, legislatif dan yudikatif saat ini sudah tidak relevan lagi. Apalagi, UUD Tahun 1945 saat ini juga sudah mengenal lembaga yang tidak masuk dalam kategori teori trias politica tersebut, seperti Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

 

“Jadi kalau kita mau lihat janganlah terpaku ini masuk mana, tapi lihat kewenangannya saja. Kewenangan itu kemudian yang paling bisa untuk melaksanakan itu gimana? Jadi saya nggak kekeuh itu masuk mana eksekutif atau yudikatif. Itu zamannya Montesquie, zaman lama itu. zaman demokrasi yang kemudian ada persoalan transparansi itu sudah ditambah lembaga-lembaga lain dan tidak masuk salah satu dari itu (trias politica). Jangan terbelenggu dengan yudikatif, eksekutif,” ujar Harjono kepada Hukumonline.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait