Korupsi Justru Jadi Penghambat Investasi
Berita

Korupsi Justru Jadi Penghambat Investasi

Penegakan hukum pidana korupsi akan bergeser ke ranah administrasi.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit

Amerika Serikat dan Inggris melarang keras adanya penyuapan dan menegaskan pemberian uang pelicin adalah ilegal dengan tidak memasukannya sebagai pengecualian hukum. Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi Internasional (OECD) juga mempunyai pendapat yang sama dengan melarang pemberian suap.

Revisi UU Tipikor

Salah satu upaya pemerintah untuk mengakomodasi investasi yaitu dengan menyederhanakan sejumlah aturan atau yang lebih dikenal dengan Omnibus Law. Menurut Edi Prio Pambudi, Omnibus Law akan mengatasi problem tumpang tindih peraturan perundang-undangan. Hal lain adalah perubahan pendekatan penegakan hukum pidana ke arah administratif. Hukuman penjara, misalnya, akan diubah ke pembayaran denda.

Syarif mempertanyakan kemungkinan pergeseran pidana ke sanksi administratif. Singapura, negara yang indeks pemberantasan korupsi lebih bagus dari Indonesia, masih memberlakukan sanksi pidana bagi pelaku korupsi. "UU Pemberantasan Korupsi ada pidananya. Tapi ada investasi, menurutmu bagus ga? Bagus.. Lihat di Amerika, FCPA ada pidananya atau tidak? Coba tunjukan negara yang tidak ada pidananya kejahatan korupsi, tunjukan saja satu negara. Bahkan untuk asset recovery," ujar Syarif.

Meskipun begitu, Syarif tidak menampik jika ada rencana mengubah hukuman maksimal pidana menjadi denda asalkan ada aturan pokoknya. Salah satu contohnya dengan merevisi UU No.  31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.

Dalam UU tersebut pidana maksimal pelaku korupsi yaitu seumur hidup atau 20 tahun dan denda Rp1 miliar. Untuk saat ini, jumlah denda itu dianggap sudah tidak lagi relevan karena jika pelaku korupsi seorang pengusaha ataupun korporasi besar, maka angka Rp1 miliar dianggap tidak berarti apa-apa.

Oleh karena itu jika memang ingin mengganti bentuk pidana menjadi denda, maka seharusnya UU Pemberantasan Tipikor ikut direvisi. Disini, Syarif juga menyinggung mengapa DPR dan Pemerintah mengesahkan UU KPK yang menurutnya masih belum mendesak untuk dilakukan perubahan.

"Kalau satu miliar rupiah untuk perusahaan besar, ‘kacang’ (nilainya kecil—red) itu. Jadi kalau mau benar hukuman badan maksimum 10 tahun misalnya tetapi dendanya Rp100 miliar misalnya sepeti itu. Itu lebih pas, tapi jangan di KPK-nya. Lihat di undang-undang Tipikornya. Jadi saya selalu bilang yang gatal kiri, yang digaruk kanan," ujarnya.

Tags:

Berita Terkait