KPA: Sepanjang 2022 Terjadi 212 'Letusan' Konflik Agraria
Catahu 2022

KPA: Sepanjang 2022 Terjadi 212 'Letusan' Konflik Agraria

Periode 2021-2022 tren konflik agraria semakin meningkat. Konflik paling banyak berada di sektor perkebunan dan infrastruktur.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika saat peluncuran Catahu KPA Tahun 2022 di Jakarta, Senin (9/1/2023). Foto: ADY
Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika saat peluncuran Catahu KPA Tahun 2022 di Jakarta, Senin (9/1/2023). Foto: ADY

Konflik agraria merupakan salah satu persoalan yang masih menjadi pekerjaan besar (PR) besar pemerintah untuk dituntaskan. Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika mengatakan sepanjang tahun 2022 organisasinya mencatat ada 212 ‘letusan’ konflik agraria, mencakup 1.035.613 hektar lahan dan 346.402 KK terdampak. Jumlah itu meningkat dibandingkan tahun 2021 dimana luas lahan terdampak 500.062 hektar dan 198.895 KK menjadi korban.

“Meski tidak signifikan dari sisi jumlah, namun dari sisi luasan wilayah terdampak naik drastis hingga 100 persen. Begitu pula dari sisi jumlah korban yang terdampak mengalami kenaikan hampir 50 persen dibandingkan tahun 2021,” kata Dewi dalam peluncuran Catahu KPA Tahun 2022 di Jakarta, Senin (9/1/2023).

Ia melanjutkan konflik paling banyak terjadi di sektor perkebunan 99 kasus, infrastruktur 32 kasus, properti 26 kasus, pertambangan 21 kasus, kehutanan 20 kasus, fasilitas militer 6 kasus, pertanian/agribisnis 4 kasus, dan pesisir dan pulau-pulau kecil 4 kasus. Dewi menyebut investasi dan praktik bisnis di sektor perkebunan kembali mendominasi sebagai penyebab konflik agraria, terutama pada perkebunan komoditi global kelapa sawit (palm oil).

Baca Juga:

Dari total 212 ‘letusan’ konflik yang terjadi, 99 kasus disumbangkan oleh sektor perkebunan dengan luasan wilayah konflik mencapai 377.197 hektar dan mengakibatkan korban terdampak sebanyak 141.001 KK. Sebanyak 80 dari 99 kasus konflik agraria terjadi di sektor sawit. “Tingginya ‘letusan’ konflik agraria di sektor perkebunan dan bisnis sawit merupakan persoalan klasik yang tidak kunjung terpecahkan oleh pemerintah,” ujar Dewi.

Dewi melihat bisnis sawit dijalankan dengan prosedur dan praktik yang lekat dengan pelanggaran. Lahan-lahan raksasa perkebunan monokultur berbasis sawit banyak berasal dari praktik perampasan tanah dan penggusuran masyarakat. Termasuk masalah pengadaan lahannya yang berasal dari tukar-guling kawasan hutan.

Ada juga perusahaan yang baru mengantongi izin lokasi, tanpa sosialisasi dan persetujuan (free prior informed consent/FPIC) lalu beroperasi begitu saja. Menurut Dewi, perusahaan itu bertindak sebagai penguasa dan pemilik tanah. Masyarakat tak jarang juga dikagetkan dengan HGU yang tiba-tiba dinyatakan terbit di atas perkampungan dan wilayah masyarakat hukum adat. Kemudian masalah kemitraan yang tidak berkeadilan dirasakan petani/pekebun plasma.

“Fakta di lapangan membuktikan bisnis raksasa sawit oleh konglomerasi sawit nasional-asing sudah mengakibatkan dampak sosial, ekonomi, budaya dan politik yang diderita masyarakat,” bebernya.

Konflik agraria paling banyak kedua teriadi di sektor infrastruktur dengan 32 ‘letusan’ konflik meliputi luas mencapai 176.093 hektar dan berdampak pada 27.223 KK. Dewi menyebut konflik agraria di sektor infrastruktur didominasi oleh proyek-proyek pembangunan infrastruktur penunjang pariwisata dan bendungan sebanyak 5 kasus, jalan tol dan pembangkit listrik 4 kasus, pembangunan jalan, pelabuhan dan fasilitas umum 3 kasus.

Letusan konflik agraria akibat pembangunan infrastruktur sebagian besar tersebar di provinsi Jawa Barat dan Kalimantan Timur dengan masing-masing 5 kasus. Selanjutnya NTT dan Jawa Tengah masing-masing 4 kasus. Dewi memberi contoh di Kalimantan Timur konflik terjadi karena proyek pembangunan IKN beserta proyek infrastrutktur penunjangnya, seperti Tol Balikpapan-Samarinda dan pembangunan Bendungan Sepaku Semoi.

Bergeser ke NTT, ‘letusan’ konflik terjadi akibat pembangunan Waduk Lambo. Lalu, infrastruktur penunjang Kawasan Pariwisata Labuan Bajo, seperti pembukaan jalan menuju kawasan serta kebijakan Gubernur NTT, Viktor Laiskodat yang berencana menaikkan harga tiket masuk ke kawasan tersebut.

“Di Kabupaten Nagakeo, konflik ‘meletus’ akibat rencana pemerintah membangun Waduk Lambo yang merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN),” papar Dewi.

Jawa Tengah juga tak luput dari konflik agraria di sektor infrastruktur. Dewi mencatat antara lain pembangunan Bendungan Bener. Kemudian pembangunan tol Demak-Semarang menyebabkan konflik di Karang Tengah, Demak.

Dirjen Penanganan Masalah Agraria Penataan Tanah dan Ruang Kementerian ATR/BPN, RB Agus Widjajanto, mengatakan ketimpangan penguasaan tanah menjadi salah satu akar masalah konflik agraria. Selain itu beragamnya hukum pertanahan sejak masa sebelum Indonesia merdeka mewariskan persoalan agraria. “Berbagai akar masalah ini yang harus kita atasi,” katanya.

Kementerian ATR/BPN secara internal juga terus berbenah untuk memberikan layanan terbaik bagi masyarakat. Agus menyebut lembaganya memiliki tugas dan fungsi yang sangat besar, tapi kewenangannya tergolong kecil. Secara umum penyelesaian sengketa relatif lebih mudah diselesaikan ketimbang konflik agraria. Biasanya sengketa hanya terkait soal regulasi dan aturan hukum. Berbeda dengan konflik yang dimensinya lebih luas karena bisa meliputi hukum administrasi, perdata, tata usaha negara, pidana, bahkan hukum internasional.

“Selain itu, terkait persoalan sosial, politik, dan keamanan,” imbuhnya.

Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro, mengamini data yang dipaparkan KPA dalam Catahu 2022. Komnas HAM sendiri sepanjang tahun 2022 menerima lebih dari 3.000 pengaduan masyarakat dimana terkait agraria ada lebih dari 300 kasus. “Kasus agraria paling banyak kedua yang dilaporkan masyarakat ke Komnas HAM,” bebernya.

Tags:

Berita Terkait