KPA Beberkan Penyebab Tumbuh Suburnya Praktik Mafia Tanah
Kaleidoskop 2021

KPA Beberkan Penyebab Tumbuh Suburnya Praktik Mafia Tanah

Mafia tanah tidak sesempit yang diberitakan pemerintah yang hanya terdiri dari penipu tunggal atau pemalsu dokumen, namun sindikat terorganisir yang banyak melibatkan pemangku kebijakan.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Mafia tanah belakangan ini kerap dimaknai sebagai pemalsuan dokumen pertanahan. Kondisi itu membuat bias untuk mengungkap siapa sebenarnya mafia tanah. Untuk mengurai mafia tanah secara struktural, Dewi mengusulkan agar dibentuk pemetaan terlebih dulu aktor dan jaringannya, serta peran masing-masing aktor dan modus kerjanya sampai kelompok korbannya. Setelah itu dapat dilakukan pemetaan terhadap faktor yang menyuburkan praktik mafia tanah itu.

Dewi mencatat satgas Anti Mafia Tanah mengklaim telah menuntaskan 180 kasus mafia tanah. Tapi Dewi yakin itu hanya “secuil” puncak gunung es dari apa yang sebenarnya terjadi di lapangan. Penanganan yang dilakukan satgas sifatnya masih kasuistik, tebang pilih, cenderung bersifat “entertained” yakni hanya menunjukkan perburuan terhadap mafia tanah sedang berjalan. Padahal yang dilakukan tidak menyasar jaringan mafia yang sifatnya akut dan struktural. Serta tidak menyelesaikan sumber masalah yang membuat praktik mafia tanah tumbuh subur.

Dewi menjelaskan suburnya praktik mafia tanah disebabkan sedikitnya 5 hal. Pertama, iklim pembangunan di Indonesia masih bergantung pada investasi dan mengabdi pada pemilik modal. Kedua, sistem informasi pertanahan tertutup atau tidak transparan. Ketiga, konflik kepentingan yang erat antara pengusaha dan pejabat/pemerintah. Keempat, buruknya sistem administrasi pertanahan dan kehutanan. Kelima, lemahnya penegakan hukum dan pendekatan kasuistik dan tebang pilih.

“Kalau data HGU dibuka saja itu sudah bisa membuka tabir mafia tanah,” bebernya memberi contoh.

Bagi Dewi, kelima faktor itu menjadi penyebab maraknya praktik mafia tanah di Indonesia dan merupakan hasil dari bureau-pathology (patologi birokrasi) yakni manifestasi dari perilaku birokrat yang mengancam tata kelola pemerintahan yang bersih dan akuntabel, efektif, dan efisien. Serta dapat melumpuhkan sistem pemerintahan, sehingga masyarakat menjadi korban.

Relasi kuasa yang terjadi antara pebisnis, pemerintah daerah sampai pusat juga menjadi salah satu penghambat bagaimana hukum ditegakkan. Dewi melihat relasi kuasa menyebabkan banyak intervensi politik dalam kasus mafia tanah yang berujung penegakan tidak optimal, bahkan tebang pilih.

Rezim karpet merah bagi investasi dan pebisnis juga semakin memperkeruh kondisi pertanahan di Indonesia. Keberpihakan pemerintah terhadap investasi dan bisnis bukan saja semakin memperkokoh praktik politik klientalisme antara pebisnis dan pemangku kebijakan, tetapi juga menyulitkan masyarakat sipil dapat diakui haknya. Atas nama investasi yang diserukan menjadi kepentingan umum, pemerintah memangkas, mengkerdilkan, juga melawan amanat konstitusi dan Undang-Undang Pokok Agraria.

Dewi berpendapat sindikat mafia tanah kelas kakap bisa bersembunyi dalam wadah Bank Tanah. Melalui lembaga ini mereka leluasa untuk menentukan tanah-tanah mana yang akan diberikan kepada pengusaha, bahkan untuk bisnisnya pejabat di dalam Bank Tanah. Mafia tanah sesungguhnya adalah setiap pejabat negara, pengusaha, aparat penegak hukum yang melakukan tindakan kolusi dan korupsi melalui pembentukan regulasi/hukum untuk memperkaya diri dan kelompoknya.

Tags:

Berita Terkait