KPK-PPATK Bantah Dalil Permohonan Akil Mochtar
Berita

KPK-PPATK Bantah Dalil Permohonan Akil Mochtar

Permohonan Akil dinilai lemahkan pemberantasan korupsi dan tindak pidana pencucian uang.

ASH
Bacaan 2 Menit
Kepala PPATK Muhammad Yusuf dan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto hadir di ruang sidang MK sebagai Pihak Terkait, Kamis (9/10). Foto: Humas MK
Kepala PPATK Muhammad Yusuf dan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto hadir di ruang sidang MK sebagai Pihak Terkait, Kamis (9/10). Foto: Humas MK
Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan pengujian UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) yang diajukan M. Akil Mochtar. Sidang kali ini, mengagendakan keterangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) selaku pihak terkait serta ahli yang dihadirkan pemohon.

Dalam sidang pleno yang dipimpin hakim konstitusi Hamdan Zoelva, KPK mematahkan semua dalil permohonan. Bahkan, KPK menilai dalil permohonan Akil mengada-ada dan keliru. Sebab, selama ini putusan pengadilan terkait Pasal 3, 4, Pasal 5 UU TPPU termasuk di dalamnya unsur “patut diduga” lazim diterapkan.

“Frasa ‘patut diduga’ dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 ayat (1) UU TPPU bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah tidak berdasar, sehingga harus ditolak,” ujar Komisioner KPK, Bambang Widjojanto saat memberi keterangan di ruang sidang MK, Kamis (9/10).

Bambang membantah dalil Akil yang menyatakan frasa “patut diduga” tidak memerlukan kembali proses pembuktian. Sebab, putusan atas kasus pemohon secara jelas menggambarkan unsur “kesalahan” dengan modus TPPU yakni menyamarkan, menyembunyikan, sedemikan rupa hasil dari tindak pidana (korupsi) yang diperolehnya secara ilegal seolah-olah hasilnya diperoleh secara legal.

Dia memaparkan Pasal 69 dihubungkan Pasal 77 dan Pasal 78 UU TPPU terkait jaminan pembelaan dengan sistem pembalikan beban pembuktian, seperti judul buku yang dikarang oleh pemohon, justru sejalan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sebab, apabila kata “tidak” dihapus dalam Pasal 69 justru akan mempersulit penanganan TPPU karena harus menunggu putusan tindak pidana asalnya terlebih dahulu. Sementara pengumpulan alat bukti TPPU adalah follow the money yang penanganannya harus cepat.    

“Kata ‘tidak’ dalam Pasal 69 UU TPPU tidak melanggar prinsip ‘Negara Indonesia adalah Negara Hukum’ karena Pasal 77 dan Pasal 78 UU TPPU telah memberi hak terdakwa untuk membuktikan asal-usul perolehan harta kekayaannya yang didakwa TPPU,” lanjutnya.

KPK juga menolak tegas jika disebut tidak berwenang menyidik dan menuntut TPPU yang disebutkan Pasal 76 UU TPPU. Sebab, berbagai peraturan perundangan-undangan seperti KUHAP, UU Kejaksaan, UU Pemberantasan Tipikor, tidak ada lembaga lain yang berwenang melakukan penuntutan selain Kejaksaan dan KPK. Terlebih, KPK sudah dianggap sebagai lembaga yang fungsinyq berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang dijamin Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 sesuai Putusan MK No. 012-016-019/PUU-VI/2006.

“Karenanya, materi permohonan ini sebenarnya permasalahan yang berkaitan penerapan undang-undang yang bukan kewenangan MK, sehingga harus ditolak atau tidak dapat diterima,” harapnya.                

Lemahkan pemberantasan korupsi
Sementara Kepala PPATK Muhammad Yusuf berpendapat uji materi UU TPPU yang diajukan Akil Mochtar ini kontra produktif karena bertentangan dengan semangat pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan korupsi yang merugikan negara. “Uji materi ini hakikatnya melemahkan rezim pemberantasan TPPU dan anti-pencucian uang, juga korupsi,” ujarnya.

Yusuf menerangkan rezim anti-pencucian uang di Indonesia selama ini menerapkan prinsip follow the money untuk mendeteksi aliran dana dari hasil suatu tindak pidana. Penggunaan prinsip follow the money dalam upaya penanganan kasus pencucian uang terbukti telah mampu memberikan hasil maksimal bagi pengembalian kerugian negara.

Lebih jauh, Yusuf meminta pengertian frasa “patut diduga” dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 ayat (1) UU TPPU tidak perlu diubah. Kalau permohonan ini dikabulkan, justru dapat berdampak buruk bagi upaya pemberantasan kejahatan pencucian uang di Indonesia. TPUU juga merupakan tindak pidana yang berdiri diri sendiri yang memiliki karakteristik khusus, sehingga bisa dakwaan jaksa bisa dilepaskan dari tindak pidana asal.     

“Kalau frasa ‘tidak wajib dibuktikan’ tindak pidana asal dalam Pasal 69 UU TPPU dihapus justru tidak ada yang menjamin hukum dan keadilan bagi warga negara yang bertentangan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945,” kata dia. “Pemaknaan Pasal 69 UU TPPU hanya penuntut umum kejaksaan, tidak termasuk KPK, ini bertentangan dengan asas peradilan cepat, murah, dan biaya ringan. Sehingga, permohonan ini harus ditolak.”  

Melalui kuasa hukumnya, Akil Mochtar mengajukan permohonan pengujian sembilan pasal UU TPPU, yakni Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 69, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 78 ayat (1), dan Pasal 95. Fokus pengujian ini menyangkut polemik tentang tidak wajibnya pembuktian tindak pidana asal (korupsi/teroris) dalam TPPU yang menyertainya karena adanya frasa “patut diduga” dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 ayat (1) UU TPPU.

Selain itu, pemohon mempersoalkan legalitas kewenangan jaksa KPK dalam menyidik dan menuntut TPPU. Karenanya, Akil meminta MK membatalkan dan meminta tafsir pasal-pasal itu. Penerapan pasal-pasal itu dinilai multitafsir, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi pemohon terutama ketika harta kekayaan yang secara nyata tidak berkaitan dengan korupsi disita dan putusannnya dirampas untuk negara.
Tags:

Berita Terkait