Kriminalisasi Penyandang Dana, Cara Perangi Terorisme
Utama

Kriminalisasi Penyandang Dana, Cara Perangi Terorisme

Penyandang dana patut dikriminalisasi.

INU
Bacaan 2 Menit

Pengajar hukum perbankan FH UI, Yunus Husein menguatkan pendapat Adang, bahwa menambahkan pendanaan terorisme ini perlu diatur khusus. Karena pendanaan teroris berasal dari hasil tindak pidana maupun dari hasil sah. “Sedangkan pencucian uang pasti berasal dari tindak pidana,”

Yunus menyarankan, penerapan UU 9 Tahun 2013 harus menyertakan UU 8 Tahun 2010. Sekalipun ada ketentuan dalam UU PTPPT mengadopsi ketentuan di UU Pencucian Uang, penggabungan itu akan mempersempit ruang gerak pelaku melakukan tindak pidana.

Dia menjelaskan dalam UU PTPPT menjelaskan mengenai transaksi keuangan mencurigakan terkait pendanaan terorisme. Hal itu dijelaskan dalam Pasal 1 angka 6 yang menguraikan dua pengertian. Pertama, transaksi keuangan dengan maksud untuk digunakan dan/atau yang diketahui akan digunakan untuk mendanai terorisme. Atau, transaksi yang melibatkan setiap orang yang berdasarkan daftar terduga teroris dan organisasi teroris.

Hakim agung, Syarifuddin dalam kesempatan sama menyatakan karena sudah diundangkan, UU 9 Tahun 2013 harus dilaksanakan. Sekalipun ada beberapa hal yang mesti diselaraskan dengan praktik penanganan perkara menggunakan undang-undang ini.

Semisal, peran Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menetapkan pemblokiran dan daftar terduga terorisme serta organisasi yang terkait terorisme. Bahkan peran PN Jakarta Pusat untuk menangani keberatan atas pemblokiran dan penetapan seseorang masuk dalam daftar terduga teroris dan organisasi yang terkait teroris.

“Ini membutuhkan peraturan teknis baru bagaimana sistem dan acara bagi PN Jakarta Pusat melaksanakan UU 9 Tahun 2013,” tuturnya.

Ditambahkan Syarifuddin, ketentuan itu belum diatur diatur oleh MA. Sehingga jalan keluar yang dia tawarkan adalah menunggu bagaimana PN Jakarta Pusat menjalankan tugas undang-undang ini.

Karena hakim itu adalah pejabat zittende magistratuur alias magistratur duduk, urai Syarifuddin. Hakim tidak bertindak aktif mencari perkara. Berbeda dengan jaksa yang disebut standee magistratuur yang aktif mencari perkara.

Terkait penunjukan PN Jakarta Pusat, Adang menjawab karena praktik selama ini, pengadilan itu menangani keberatan akan putusan arbitrase internasional. Hal itu termuat dalam UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Tags:

Berita Terkait