Kriteria Pecandu Narkotika yang Wajib Rehabilitasi
Berita

Kriteria Pecandu Narkotika yang Wajib Rehabilitasi

Terdakwa tertangkap tangan penyidik Polri dan BNN; ditemukan barang bukti pemakaian 1 hari; adanya surat keterangan uji laboratorium positif menggunakan narkotika; adanya surat keterangan psikiater pemerintah; tidak terbukti terlibat atau berperan dalam peredaran gelap narkotika (bandar/pengedar), bukan residivis kasus narkotika.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

“Tim Asesmen Terpadu (TAT) sesuai peraturan bersama MA, Kemenkumham, Kemenkes, Kemensos, Jaksa Agung, Kapolri, dan Kepala BNN Tahun 2014 tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika kepada Badan Rehabilitasi,” lanjutnya.

 

Sesuai Pasal 5 UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 103 UU Narkotika, dan Pasal 13 PP No. 25 Tahun 2011 tentang Wajib Lapor, memberi posisi sangat strategis dan sentral kepada hakim terkait penempatan dalam lembaga rehabilitasi medis dan sosial sejak dalam proses penyidikan, penuntutan, sampai proses pemeriksaan di pengadilan dalam bentuk penetapan.

 

“Dalam pelaksanaannya hakim tetap memperhatikan dan merujuk SEMA No. 4 Tahun 2010 yang berlaku bagi penyalahguna, pecandu, dan korban penyalahgunaan narkotika,” terangnya.

 

Direktur Tindak Pidana Narkotika dan Zat Adiktif Lainnya pada Kejaksaan Agung Heffinur mengatakan Pasal 127 ayat (3) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dalam hal penyalahguna dapat dibuktikan sebagai korban penyalahgunaan narkotika, penyalahguna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

 

Menurutnya, meskipun sudah ada peraturan bersama, namun dalam pelaksanaannya masih tidak konsisten. Terbukti, banyak tersangka atau anak yang direhabilitasi, tetapi sangat jauh berbeda jumlahnya dengan pelaksanaan TAT yang ada, sehingga disimpulkan rehabilitasi tersebut tanpa melalui analisis TAT.

 

“Apakah TAT masih eksis? Dalam berkas perkara hanya melampirkan rekomendasi Tim Dokter (Pasal 13 (3) PP 25/2011). Padahal, analisis terkait keterlibatan tersangka/anak dalam suatu peredaran narkotika juga sangat penting,” kata Helffinur.

 

Ke depan, dia menyarankan perlu diklat terpadu anggota TAT guna meningkatkan kompetensi dan performa anggota TAT. Tak hanya memahami secara teknis yuridis, tetapi juga memahami landasan sosiologi dan filosofis semangat pelaksanaan rehabilitasi bagi pecandu/penyalahguna narkotika. “Peningkatan fasilitas dan anggaran TAT, terutama dalam pembiayaan operasional dan pelaksanaan TAT yang dirasa masih sangat minim,” lanjutnya.  

 

Selain itu, perlu kesamaan persepsi terkait eksistensi TAT, sehingga tidak menjadi perdebatan antarpenegak hukum. Mengingat seyogyanya rekomendasi TAT ini menjadi syarat mutlak pelaksanaan rehabilitasi. “Jika TAT masih eksis, seharusnya TAT dibentuk setiap tahun. Konsistensi rujukan tersangka/Anak untuk dianalisis TAT agar tidak tebang pilih dan mengedepankan semangat penyembuhan bagi para pecandu dan penyalahguna narkotika, tidak mengedepankan ego sektoral.”

Tags:

Berita Terkait