Lawyer Australia Menilai “Ketertiban Umum” di UU Arbitrase Terlalu Luas
Berita

Lawyer Australia Menilai “Ketertiban Umum” di UU Arbitrase Terlalu Luas

Wilayah Indonesia yang luas dan beragamnya penduduk Indonesia diduga sebagai penyebabnya.

Ali Salmande
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi Arbitrase. Ilustrasi: Helmy
Ilustrasi Arbitrase. Ilustrasi: Helmy
Pengacara asal Australia John K Arthur menilai bahwa frasa “ketertiban umum” dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa terlalu luas maknanya, atau bahkan tidak jelas.

Padahal, frasa ketertiban umum ini memiliki arti yang sangat penting dalam UU itu. Putusan Arbitrase Internasional baru bisa dilaksanakan di Indonesia, apabila putusan tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 66 huruf c UU Arbitrase.

John menjelaskan dengan dasar ketertiban umum ini, maka pengadilan di Indonesia bisa melakukan ‘intervensi’ terhadap putusan Arbitrase Internasional. “Sayangnya, di Indonesia makna ketertiban umum (public order atau public policy) itu sangat luas. Berbeda dengan negara-negara lain yang menafsirkannya secara sempit,” ujarnya. (Baca Juga: MA Kepada Lawyer: Putusan Arbitrase Jangan Terus Dibawa ke Pengadilan, Bikin Rumit).

John memaparkan pandangannya ini dalam Seminar International tentang Arbitrase Internasional yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) di Gedung Slipi Tower, Jakarta, Selasa (11/10). Pemaparan ini dimoderatori oleh Wakil Ketua Dewan Pimpinan Nasional (DPN) PERADI Ricardo Simanjuntak.

Lebih lanjut, John membandingkan makna ketertiban umum yang dianut oleh hukum Indonesia dengan negara-negara lain yang menerapkan konsep Model Law dalam hukum arbitrase mereka. Indonesia sendiri bukan negara yang mengadopsi UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration (Model Law).

“Indonesia dan China adalah dua negara berpenduduk besar di kawasan Asia yang belum mengadopsi Model Law,” tuturnya. (Baca Juga: BANI Berbadan Hukum Launching, Kini BANI Resmi Ada Dua).

John menjelaskan negara-negara yang mengadopsi Model Law, seperti Malaysia, Singapura dan Australia memiliki penafsiran yang sempit seputar ketertiban umum (public policy/public order). Di Malaysia, mengganggu ketertiban umum dimaknai sebagai, “menyinggung gagasan dasar moralitas dan keadilan, atau sesutu yang jelas merugikan kepentingan publik.”
“Pengadilan Malaysia menafsirkan ini secara sempit dengan melakukan perbandingan dengan negara-negara lain berdasarkan pendekatan keseragaman penggunaan Model Law,” ujarnya.

Sedangkan di Singapura, lanjutnya lagi, penafsiran ketertiban umum berkaitan dengan hal-hal yang menyinggung hati murani dan moralitas publik. Dalam praktik, hal ini ditafsirkan secara sempit oleh para hakim di Singapura. “Pengadilan Singapura biasanya akan mengikuti yurisprudensi internasional di Model Law yang menjelaskan seputar ketertiban umum itu,” tuturnya. (Baca Juga: Mau Jadi Sarjana Hukum Indonesia Berkarier Global? Ini Tipsnya).

John mengakui bila kondisi di Indonesia tentu berbeda dengan di negara-negara lain. Apalagi, Indonesia memiliki jumlah penduduk yang cukup besar dan tingkat keberagaman yang lebih tinggi. “Saya memahami bahwa Indonesia itu berbeda dengan Australia atau Malaysia. Di negara-negara itu jumlah penduduknya lebih sedikit sehingga memudahkan mereka untuk meng-internasionalisasi hukum-hukum nasional mereka,” ujarnya.

“Tapi dengan 250 juta penduduk? Itu tentu bukan hal yang mudah,” tambahnya.

Oleh sebab itu, John mengaku bisa memahami bila makna Ketertiban umum ditafsirkan secara luas oleh para hakim di Indonesia. Namun, ia menyarankan agar penafsiran itu sebaiknya jangan ditafsirkan terlalu luas karena itu memungkinkan pengadilan dengan mudah mengintervensi putusan Arbitrase Internasional.

John mengatakan Peraturan Mahkamah Agung (MA) Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanan Putusan Arbitrase Asing mengkonfirmasi luasnya penafsiran ketertiban umum itu dalam lingkup arbitrase. Ia merujuk Pasal 4 ayat (2) yang berbunyi “Exequatur tidak akan diberikan apabila putusan Arbitrase asing itu nyata-nyata bertentangan dengan sendi-sendi asasi dari seluruh sistem hukum dan masyarakat di Indonesia”.

Wakil Ketua DPN PERADI Ricardo Simanjuntak mengakui penafsiran ketertiban umum dalam UU Arbitrase itu memang cukup luas. “Belum ada definisi baku tentang ketertiban umum. Tapi, salah satunya memang bila melanggar hukum yang berlaku di Indonesia. Secara umum memang belum jelas,” tukasnya.

Oleh karena itu, Ricardo menilai Indonesia perlu melihat best practices di negara-negara lain. “Kita perlu perbandingan dengan negara-negara lain,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait