Legislator Ini Sebut Revisi Perpres Kartu Prakerja Potensi Korupsi
Berita

Legislator Ini Sebut Revisi Perpres Kartu Prakerja Potensi Korupsi

ICW menyebut revisi Perpres Kartu Prakerja memunculkan empat persoalan. Mulai sewenang-wenang memberi impunitas Komite Cipta Kerja dan Manajemen Pelaksana, inkonsistensi program, ingin menormalisasi praktik konflik kepentingan yang dilakukan platform digital, hingga terkesan berpihak ke pengusaha ketimbang masyarakat.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

Alih-alih Perpres 76/2020 bisa merespon berbagai kelemahan program andalan ini, malah memunculkan empat persoalan baru. Pertama, Presiden Joko Widodo bersikap sewenang-wenang memberikan impunitas kepada Komite Cipta Kerja dan Manajemen Pelaksana melalui Pasal 31B Perpres 76/2020.

Menurut Wana, dalam laporan dugaan maladministrasi yang ICW sampaikan ke Ombudsman Republik Indonesia Juni lalu, salah satu permasalahan perjanjian kerja sama sebelum terbitnya aturan teknis yakni Peraturan Menteri Perekonomian Nomor 3 Tahun 2020.

Langkah Presiden Joko Widodo ingin menormalisasi praktik konflik kepentingan yang dilakukan oleh platform digital melalui Pasal 31 B ayat (1) dan Pasal 31B ayat (2) huruf c. Berdasarkan temuan dari KPK, 5 dari 8 platform digital memiliki konflik kepentingan. Pasalnya sekaligus bertindak sebagai lembaga pelatihan. “Hal ini menandakan Presiden Joko Widodo tidak mementingkan aspek integritas dalam pembuatan kebijakan,” kata dia.

Kedua, pemerintah dianggap tidak memiliki konsep yang jelas mengenai program kartu prakerja. Alhasil, menimbulkan inkonsistensi dan kerancuan. Dalam rencana berdasarkan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, program kartu prakerja menjadi strategi dalam meningkatkan sumber daya manusia.

Namun, Pasal 12A ayat (1) disebutkan bahwa pelaksanaan program kartu prakerja sebagai bentuk bantuan sosial dalam masa pandemi Covid-19. Nah, pencatuman klausul tersebut justru patut diduga hanya upaya menjustifikasi skema penanggulangan Covid-19 sebagai mekanisme bantuan sosial. Sehingga tidak lagi perlu menerapkan mekanisme tender dalam memilih mitra platform digital.  

Ketiga, pemerintah mengesampingkan mekanisme pengadaan barang dan jasa sebagai instrumen untuk memilih delapan platform digital sebagaimana tercermin dalam Pasal 31A. Dalam klausul itu dijelaskan pelaksanaan tetap memperhatikan prinsip pengadaan barang diantaranya transparan, terbuka, bersaing, adil, dan akuntabel. “Tapi, pada saat proses pemilihan delapan platform digital nyatanya pemerintah abai menggunakan prinsip pengadaan,” kata dia.

Keempat, pemerintah terkesan berpihak kepada pengusaha dibanding ke masyarakat. Menurut Wana, bila melihat proporsi anggaran yang diberikan, negara memberikan insentif sebesar Rp5,6 triliun kepada delapan platform digital. Sedangkan insentif yang diterima individu - tanpa biaya bantuan pelatihan - hanya Rp2,55 juta.

Tags:

Berita Terkait